Perubahan kondisi cuaca yang tidak menentu dengan berimbas pada perubahan iklim global merupakan fenomena yang telah terjadi saat ini. Isu pemanasan global sekarang menjadi salah satu fenomena yang mendapat perhatian serius dari berbagai kalangan. Emisi gas karbondioksida dari waktu ke waktu semakin meningkat terutama di daerah-daerah padat industry. Pemanasan global dipicu oleh efek rumah kaca yang terjadi akibat pemantulan sinar matahari oleh bumi yang tidak dapat diteruskan karena tertahan oleh lapisan polutan berupa gas yang mengambang di atmosfer, gas-gas tersebut antara lain CO2 maupun NO2.
Menurut fardiaz (1995) karbon monoksida (CO) menjadi polutan utama dari polusi yang ada di udara dan kandungannya mencapai hampir setengah dari seluruh polutan udara yang ada. Sumber emisi karbon di atmosfer disebabkan oleh aktifitas manusia seperti dari transportasi, pembakaran minyak, gas, arang dan kayu, proses-proses industry dan penebangan serta kebakaran hutan. Di lain pihak konversi lahan atau ruang terbuka hijau menjadi areal penggunaan lainnya di daerah-daerah berkembang semakin meningkat seiring dengan pertambahan penduduk dan kebutuhan akan hidup.
Pertumbuhan kandungan karbon dioksida di udara dari tahun 1990 hingga tahun 2018 diperhitungkan mempunyai angka pertumbuhan rata-rata 6,9% (world bank, 1993 dalam Fandeli, 2004). Bahaya emisi karbon dapat menimbulkan kematian apabila terjadi kontak yang cukup lama. Namun demikian, kontak karbon dengan manusia pada konsentrasi yang relatif rendah juga dapat mengganggu kesehatan. Dampak terhadap kesehatan antara lain gangguan system syaraf, perubahan fungsi jantung, pingsan bahkan sampai kematian (fardiaz, 1995).
Perubahan iklim yang dalam beberapa tahun terakhir terjadi di Indonesia merupakan dampak dari pemanasan global yang disebabkan oleh meningkatnya gas rumah kaca di atmosfir. Karbon dioksida (CO2) dan Metan (CH4) merupakan gas rumah kaca yang mempunyai kontribusi paling besar terhadap pemanasan global dan perubahan iklim. Konsentrasi gas rumah kaca di masa pra industri dalam abad ke 19 adalah 290 ppmv (CO2), 700 ppbv (CH4) dan 275 ppbv (N2O). Namun kemudian meningkat cepat menjadi 360 ppmv (CO2), 1745 ppbv (CH4) dan 311 ppbv (N2O) pada tahun 1998. Apabila sebelumnya naiknya gas rumah kaca berkecepatan rendah dalam ukuran ratusan tahun, maka dalam abad ke 20 bergerak naik dengan kecepatan puluhan tahun. Perkiraan para ahli gas rumah kaca untuk CO2 akan mencapai 550 ppmv pada tahun 2050 (Murdiyarso, 2003). Konsentrasi GRK di atmosfer meningkat sebagai akibat adanya pengelolaan lahan yang kurang tepat, antara lain adanya pembakaran vegetasi hutan dalam skala luas pada waktu yang bersamaan dan adanya pengeringan lahan gambut. Kegiatan-kegiatan tersebut umumnya dilakukan pada awal alih guna lahan hutan menjadi areal pertambangan dan lahan-lahan pertanian.
Di satu sisi, hutan yang diharapkan menjadi pengendali pemanasan global, kondisinya semakin mengkhawatirkan. Penjarahan hutan (illegal logging) dari waktu ke waktu semakin marak. Berdasarkan data laju deforestasi (kerusakan hutan) Departemen Kehutanan periode 2003 s/d 2006 diketahui laju deforestasi di Indonesia sebesar 1,17 juta hektar per tahun. (sumber: kompas, 23 Februari 2010)
Kebakaran hutan dan lahan serta gangguan lahan lainnya telah menempatkan Indonesia dalam urutan ketiga Negara penghasil emisi CO2 terbesar di dunia. Indonesia berada di bawah Amerika Serikat dan China, dengan jumlah emisi yang dihasilkan mencapai dua miliar ton CO2 per tahunnya atau menyumbang 10% dari emisi CO2 di dunia (Wetland International, 2006). Hutan alami merupakan penyimpan karbon (C) tertinggi bila dibandingkan dengan sistem penggunaan lahan (SPL) pertanian, dikarenakan keragaman pohonnya yang tinggi, dengan tumbuhan bawah dan seresah di permukaan tanah yang banyak. Tumbuhan memerlukan sinar matahari, gas asam arang (CO2) yang diserap dari udara serta air dan hara yang diserap dari dalam tanah untuk kelangsungan hidupnya. Melalui proses fotosintesis, CO2 di udara diserap oleh tanaman dan diubah menjadi karbohidrat, kemudian disebarkan ke seluruh tubuh tanaman dan akhirnya ditimbun dalam tubuh tanaman berupa daun, batang, ranting, bunga dan buah (Gambar 1).
Proses penimbunan C dalam tubuh tanaman hidup dinamakan proses sekuestrasi (C- sequestration). Dengan demikian mengukur jumlah C yang disimpan dalam tubuh tanaman hidup (biomasa) pada suatu lahan dapat menggambarkan banyaknya CO2 di atmosfer yang mampu diserap oleh tanaman. Sedangkan pengukuran C yang masih tersimpan dalam bagian tumbuhan yang telah mati (nekromasa) secara tidak langsung menggambarkan CO2 yang tidak dilepaskan ke udara lewat pembakaran.
Kerusakan hutan disinyalir disebabkan kuatnya paradigma bahwa hutan adalah kayu (timber oriented). Hutan masih sekedar dilihat dari nilai tangible berupa produk yang bisa dijual secara langsung seperti kayu bulat untuk kayu lapis atau perabot rumah yang diekspor. Padahal hutan juga penghasil intangible produk yang apabila dihitung, nilai ekonomi dan ekologisnya jauh lebih tinggi dari nilai ekonomis kayu (tangible product). Nilai intangible hutan antara lain sebagai pencegah banjir di musim hujan dan penyimpan air dimusim kemarau (tata air). Hutan juga merupakan penyerap karbon (CO2) dan pelepas udara bersih (O2) atau lebih dikenal sebagai paru-paru dunia.
Menurut Ginoga (2004), pada ekosistem hutan, karbon terakumulasi pada biomassa tegakan terutama bagian batang dan besarnya biomassa karbon tergantung pada keadaan musim. Lebih lanjut Ginoga menyatakan bahwa laju penyerapan karbon tergantung pada waktu dan variasi pertumbuhan pada setiap spesies.berdasarkan hasil penelitian Boyce (1995) seperti dikutip Fandeli (2004), menunjukkan bahwa pada bagian tubuh pohon dan tegakan pohon di atmosfer ternyata memiliki kandungan karbon yang tidak sama antara berbagai bagian tubuh pohon. Hal yang menarik dari penelitian ini adalah karbon yang terdapat pada daun justru lebih sedikit dan terbanyak pada batang. Meskipun karbon pertama kali di serap oleh daun pada proses fotosintesis, tetapi sebagian besar ditimbun pada batang.
Dengan demikian pengukuran biomassa karbon pada tegakan dapat didekati dengan pengukuran volume pohon. Hal ini karena pendekatan tersebut mempunyai akurasi yang relative tinggi, mudah untuk dilakukan dan mudah untuk diverifikasi. Menurut Brown, S., (1997) karbon yang terdapat diakar dan di dalam tanah menurut beberapa penelitian menunjukkan nilai yang relative kecil, sehingga bisa diabaikan.
Merespon isu pemanasan global, di tingkatan internasional telah melakukan berbagai kesepakatan sebagai antisipasi seperti adanya konsep dalam Scheme Debt For Nature Swap (DNS) atau pendanaan konservasi melalui penghapusan hutang, menilai secara ekonomis suatu lingkungan (environmental valuation), pajak konservasi (conservation tax) dan kesepakatan mengenai perdagangan karbon (carbon trade) yang dikenal dengan Protoko Kyoto. Protokol Kyoto memperjelas adanya pasar bagi pemanfaatan hutan sebagai penyedia jasa lingkungan melalui penyerapan karbon termasuk Indonesia.
Seiring dengan perkembangan trend dunia dengan melihat sisi pemanfaatan hutan sebagai penyedia jasa lingkungan melalui penyerapan karbon, Taman Nasional Kelimutu sebagai salah satu kawasan pelestarian alam yang ada di Indonesia tentunya juga mempunyai kemampuan untuk menyerap karbon. Luas kawasan Taman Nasional Kelimutu yaitu 5.356,5 hektar merupakan luasan kawasan pelestarian alam taman nasional yang paling kecil yang berada di Indonesia. Taman Nasional Kelimutu yang mempunyai 4 (empat) zona yaitu: zona inti (350,5 ha); zona pemanfaatan (96,5 ha); zona rimba (4351,5ha), dan zona rehabilitasi (558,5 ha). Taman Nasional Kelimutu selain mempunyai ikon sebagai tujuan wisata geologi dan vulkanologi karena keberadaan Danau kawah tiga warnanya juga melakukan upaya diversifikasi produk obyek kunjungan berupa hutan mini arboretum dengan luas 4,5 ha yang berada di zona pemanfaatan.
Arboretum Taman Nasional Kelimutu sebagai bagian dari penunjang wisata pendidikan lingkungan mempunyai banyak potensi terutama sebagai hutan alam dengan keberagaman jenis serta ketutupan lahan yang tinggi tentunya memiliki potensi karbon tersimpan yang sangat besar. Menurut Hairiah K., et al (2007), hutan alami merupakan penyimpan karbon (C) tertinggi bila dibandingkan dengan sistem penggunaan lahan pertanian. Oleh karena itu, Taman Nasional Kelimutu pada tahun ini melaksanakan kegiatan identifikasi kemampuan hutan arboretum dalam penyerapan karbon (carbon sequestration).
Menurut fardiaz (1995) karbon monoksida (CO) menjadi polutan utama dari polusi yang ada di udara dan kandungannya mencapai hampir setengah dari seluruh polutan udara yang ada. Sumber emisi karbon di atmosfer disebabkan oleh aktifitas manusia seperti dari transportasi, pembakaran minyak, gas, arang dan kayu, proses-proses industry dan penebangan serta kebakaran hutan. Di lain pihak konversi lahan atau ruang terbuka hijau menjadi areal penggunaan lainnya di daerah-daerah berkembang semakin meningkat seiring dengan pertambahan penduduk dan kebutuhan akan hidup.
Pertumbuhan kandungan karbon dioksida di udara dari tahun 1990 hingga tahun 2018 diperhitungkan mempunyai angka pertumbuhan rata-rata 6,9% (world bank, 1993 dalam Fandeli, 2004). Bahaya emisi karbon dapat menimbulkan kematian apabila terjadi kontak yang cukup lama. Namun demikian, kontak karbon dengan manusia pada konsentrasi yang relatif rendah juga dapat mengganggu kesehatan. Dampak terhadap kesehatan antara lain gangguan system syaraf, perubahan fungsi jantung, pingsan bahkan sampai kematian (fardiaz, 1995).
Perubahan iklim yang dalam beberapa tahun terakhir terjadi di Indonesia merupakan dampak dari pemanasan global yang disebabkan oleh meningkatnya gas rumah kaca di atmosfir. Karbon dioksida (CO2) dan Metan (CH4) merupakan gas rumah kaca yang mempunyai kontribusi paling besar terhadap pemanasan global dan perubahan iklim. Konsentrasi gas rumah kaca di masa pra industri dalam abad ke 19 adalah 290 ppmv (CO2), 700 ppbv (CH4) dan 275 ppbv (N2O). Namun kemudian meningkat cepat menjadi 360 ppmv (CO2), 1745 ppbv (CH4) dan 311 ppbv (N2O) pada tahun 1998. Apabila sebelumnya naiknya gas rumah kaca berkecepatan rendah dalam ukuran ratusan tahun, maka dalam abad ke 20 bergerak naik dengan kecepatan puluhan tahun. Perkiraan para ahli gas rumah kaca untuk CO2 akan mencapai 550 ppmv pada tahun 2050 (Murdiyarso, 2003). Konsentrasi GRK di atmosfer meningkat sebagai akibat adanya pengelolaan lahan yang kurang tepat, antara lain adanya pembakaran vegetasi hutan dalam skala luas pada waktu yang bersamaan dan adanya pengeringan lahan gambut. Kegiatan-kegiatan tersebut umumnya dilakukan pada awal alih guna lahan hutan menjadi areal pertambangan dan lahan-lahan pertanian.
Di satu sisi, hutan yang diharapkan menjadi pengendali pemanasan global, kondisinya semakin mengkhawatirkan. Penjarahan hutan (illegal logging) dari waktu ke waktu semakin marak. Berdasarkan data laju deforestasi (kerusakan hutan) Departemen Kehutanan periode 2003 s/d 2006 diketahui laju deforestasi di Indonesia sebesar 1,17 juta hektar per tahun. (sumber: kompas, 23 Februari 2010)
Kebakaran hutan dan lahan serta gangguan lahan lainnya telah menempatkan Indonesia dalam urutan ketiga Negara penghasil emisi CO2 terbesar di dunia. Indonesia berada di bawah Amerika Serikat dan China, dengan jumlah emisi yang dihasilkan mencapai dua miliar ton CO2 per tahunnya atau menyumbang 10% dari emisi CO2 di dunia (Wetland International, 2006). Hutan alami merupakan penyimpan karbon (C) tertinggi bila dibandingkan dengan sistem penggunaan lahan (SPL) pertanian, dikarenakan keragaman pohonnya yang tinggi, dengan tumbuhan bawah dan seresah di permukaan tanah yang banyak. Tumbuhan memerlukan sinar matahari, gas asam arang (CO2) yang diserap dari udara serta air dan hara yang diserap dari dalam tanah untuk kelangsungan hidupnya. Melalui proses fotosintesis, CO2 di udara diserap oleh tanaman dan diubah menjadi karbohidrat, kemudian disebarkan ke seluruh tubuh tanaman dan akhirnya ditimbun dalam tubuh tanaman berupa daun, batang, ranting, bunga dan buah (Gambar 1).
Proses penimbunan C dalam tubuh tanaman hidup dinamakan proses sekuestrasi (C- sequestration). Dengan demikian mengukur jumlah C yang disimpan dalam tubuh tanaman hidup (biomasa) pada suatu lahan dapat menggambarkan banyaknya CO2 di atmosfer yang mampu diserap oleh tanaman. Sedangkan pengukuran C yang masih tersimpan dalam bagian tumbuhan yang telah mati (nekromasa) secara tidak langsung menggambarkan CO2 yang tidak dilepaskan ke udara lewat pembakaran.
Kerusakan hutan disinyalir disebabkan kuatnya paradigma bahwa hutan adalah kayu (timber oriented). Hutan masih sekedar dilihat dari nilai tangible berupa produk yang bisa dijual secara langsung seperti kayu bulat untuk kayu lapis atau perabot rumah yang diekspor. Padahal hutan juga penghasil intangible produk yang apabila dihitung, nilai ekonomi dan ekologisnya jauh lebih tinggi dari nilai ekonomis kayu (tangible product). Nilai intangible hutan antara lain sebagai pencegah banjir di musim hujan dan penyimpan air dimusim kemarau (tata air). Hutan juga merupakan penyerap karbon (CO2) dan pelepas udara bersih (O2) atau lebih dikenal sebagai paru-paru dunia.
Menurut Ginoga (2004), pada ekosistem hutan, karbon terakumulasi pada biomassa tegakan terutama bagian batang dan besarnya biomassa karbon tergantung pada keadaan musim. Lebih lanjut Ginoga menyatakan bahwa laju penyerapan karbon tergantung pada waktu dan variasi pertumbuhan pada setiap spesies.berdasarkan hasil penelitian Boyce (1995) seperti dikutip Fandeli (2004), menunjukkan bahwa pada bagian tubuh pohon dan tegakan pohon di atmosfer ternyata memiliki kandungan karbon yang tidak sama antara berbagai bagian tubuh pohon. Hal yang menarik dari penelitian ini adalah karbon yang terdapat pada daun justru lebih sedikit dan terbanyak pada batang. Meskipun karbon pertama kali di serap oleh daun pada proses fotosintesis, tetapi sebagian besar ditimbun pada batang.
Dengan demikian pengukuran biomassa karbon pada tegakan dapat didekati dengan pengukuran volume pohon. Hal ini karena pendekatan tersebut mempunyai akurasi yang relative tinggi, mudah untuk dilakukan dan mudah untuk diverifikasi. Menurut Brown, S., (1997) karbon yang terdapat diakar dan di dalam tanah menurut beberapa penelitian menunjukkan nilai yang relative kecil, sehingga bisa diabaikan.
Merespon isu pemanasan global, di tingkatan internasional telah melakukan berbagai kesepakatan sebagai antisipasi seperti adanya konsep dalam Scheme Debt For Nature Swap (DNS) atau pendanaan konservasi melalui penghapusan hutang, menilai secara ekonomis suatu lingkungan (environmental valuation), pajak konservasi (conservation tax) dan kesepakatan mengenai perdagangan karbon (carbon trade) yang dikenal dengan Protoko Kyoto. Protokol Kyoto memperjelas adanya pasar bagi pemanfaatan hutan sebagai penyedia jasa lingkungan melalui penyerapan karbon termasuk Indonesia.
Seiring dengan perkembangan trend dunia dengan melihat sisi pemanfaatan hutan sebagai penyedia jasa lingkungan melalui penyerapan karbon, Taman Nasional Kelimutu sebagai salah satu kawasan pelestarian alam yang ada di Indonesia tentunya juga mempunyai kemampuan untuk menyerap karbon. Luas kawasan Taman Nasional Kelimutu yaitu 5.356,5 hektar merupakan luasan kawasan pelestarian alam taman nasional yang paling kecil yang berada di Indonesia. Taman Nasional Kelimutu yang mempunyai 4 (empat) zona yaitu: zona inti (350,5 ha); zona pemanfaatan (96,5 ha); zona rimba (4351,5ha), dan zona rehabilitasi (558,5 ha). Taman Nasional Kelimutu selain mempunyai ikon sebagai tujuan wisata geologi dan vulkanologi karena keberadaan Danau kawah tiga warnanya juga melakukan upaya diversifikasi produk obyek kunjungan berupa hutan mini arboretum dengan luas 4,5 ha yang berada di zona pemanfaatan.
Arboretum Taman Nasional Kelimutu sebagai bagian dari penunjang wisata pendidikan lingkungan mempunyai banyak potensi terutama sebagai hutan alam dengan keberagaman jenis serta ketutupan lahan yang tinggi tentunya memiliki potensi karbon tersimpan yang sangat besar. Menurut Hairiah K., et al (2007), hutan alami merupakan penyimpan karbon (C) tertinggi bila dibandingkan dengan sistem penggunaan lahan pertanian. Oleh karena itu, Taman Nasional Kelimutu pada tahun ini melaksanakan kegiatan identifikasi kemampuan hutan arboretum dalam penyerapan karbon (carbon sequestration).
No comments:
Post a Comment