Rusaknya hutan di Indonesia disinyalir masih besarnya paradigma bahwa hutan hanya bisa dinilai secara ekonomi dari hasil kayunya (timber oriented). Hutan masih sekedar dilihat dari sudut nilai tangible berupa produk yang bisa dijual secara langsung seperti kayu bulat untuk kayu lapis, bahan baku kertas (pulp) atau perabot rumah yang diekspor.
Selain itu, masih kuatnya mindset bahwa hutan sebagai penghasil devisa negara yang bisa diperbaharui (renewable) semakin memicu tingginya deforestasi yang ada di Indonesia. Padahal hutan juga penghasil intangible produk yang apabila dihitung, nilai ekonomi dan ekologisnya jauh lebih tinggi dari nilai ekonomis kayu. Nilai intangible hutan
antara lain sebagai pencegah banjir di musim hujan dan penyimpan air
dimusim kemarau (tata air). Hutan juga merupakan penyerap karbon (CO2) dan pelepas udara bersih (O2) atau lebih dikenal sebagai paru-paru dunia.
Laju deforestasi Indonesia yang masih tinggi yaitu sebesar 832.126,9 hektar/ tahun merupakan ancaman bagi keberlangsungan kawasan hutan khususnya kawasan hutan konservasi. Berdasarkan data FAO (2010) Indonesia menempati urutan ketiga dengan laju deforestasi tertinggi setelah Brazil dan Australia. Dengan laju deforestasi yang masih besar tentunya kawasan hutan di Indonesia akan terus dalam keadaan terancam (threats). Luas kawasan hutan di Indonesia menurut data dari Kementerian Kehutanan (2010) seluas 134,28 juta hektar, yang terdiri dari kawasan hutan konservasi 24,56 juta hektar, kawasan hutan lindung 32,01 juta hektar dan kawasan hutan produksi 77,71 juta hektar. Kawasan hutan konservasi merupakan benteng terakhir kawasan hutan yang ada di Indonesia yang harus dipertahankan dengan kondisi ekosistem yang asli, ketika kawasan hutan lain berubah fungsi menjadi lahan-lahan perkebunan palm oil, lahan tambang, pembukaan jalan dan untuk perumahan.
Laju deforestasi Indonesia yang masih tinggi yaitu sebesar 832.126,9 hektar/ tahun merupakan ancaman bagi keberlangsungan kawasan hutan khususnya kawasan hutan konservasi. Berdasarkan data FAO (2010) Indonesia menempati urutan ketiga dengan laju deforestasi tertinggi setelah Brazil dan Australia. Dengan laju deforestasi yang masih besar tentunya kawasan hutan di Indonesia akan terus dalam keadaan terancam (threats). Luas kawasan hutan di Indonesia menurut data dari Kementerian Kehutanan (2010) seluas 134,28 juta hektar, yang terdiri dari kawasan hutan konservasi 24,56 juta hektar, kawasan hutan lindung 32,01 juta hektar dan kawasan hutan produksi 77,71 juta hektar. Kawasan hutan konservasi merupakan benteng terakhir kawasan hutan yang ada di Indonesia yang harus dipertahankan dengan kondisi ekosistem yang asli, ketika kawasan hutan lain berubah fungsi menjadi lahan-lahan perkebunan palm oil, lahan tambang, pembukaan jalan dan untuk perumahan.
Taman
nasional sebagai kawasan konservasi ditunjuk karena kondisi suatu kawasan yang
memiliki sumber daya alam yang khas dan unik baik berupa jenis tumbuhan maupun
satwa dan ekosistemnya serta gejala alam yang masih utuh dan alami (PP No 28
Tahun 2011). Taman Nasional sebagai bagian kawasan konservasi yang dikelola dengan
sistem zonasi mengemban tiga fungsi, yaitu fungsi perlindungan, fungsi pengawetan
dan fungsi pemanfaatan. Sesuai dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi
Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Taman Nasional didefinisikan sebagai kawasan
pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang
dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya,
pariwisata, dan rekreasi.
Menurut
Hairiah, K., & Subekti R. (2007) hutan alami (kawasan taman nasional)
merupakan penyimpan karbon (C) tertinggi bila dibandingkan dengan sistem
penggunaan lahan (SPL) pertanian, dikarenakan keragaman pohonnya yang tinggi, dengan
tumbuhan bawah dan seresah di permukaan tanah yang banyak. Kawasan TN Kelimutu
dengan luas 5356,5 hektar sebagai hutan alam bisa dikategorikan memiliki
ekosistem hutan yang sempurna. Dengan ekosistem hutan yang sempurna maka akan
mempunyai peran dalam penyerapan karbon sehingga mempunyai pengaruh terhadap
pengurangan tingkat emisi gas rumah kaca yang memicu adanya pemanasan global (global warming).
Potensi
penyerapan karbon yang dimiliki kawasan TN Kelimutu mempunyai nilai ekonomi
yang harus dipandang sebagai suatu jasa (services)
yang merupakan barang yang mempunyai nilai jual. Menurut Tambunan, Mangara (2011) di dalam ilmu ekonomi, jasa lingkungan
seperti udara dan air bersih, tempat tinggal yang bebas dari kebisingan, serta keindahan
alam, harus dipandang sebagai suatu jasa (services)
yang merupakan final product di dalam
bundel pilihan ekonomi individu karena hal tersebut memiliki nilai ekonomi yang
signifikan bagi kehidupan manusia.
Perdagangan
Karbon
Kebakaran
hutan dan lahan serta gangguan lahan lainnya yang berakibat berkurangnya luas kawasan
hutan telah menempatkan salah satu negara ASEAN yaitu Indonesia dalam urutan ketiga
Negara penghasil emisi CO2 terbesar di dunia. Indonesia berada di bawah
Amerika Serikat dan China, dengan jumlah emisi yang dihasilkan mencapai dua miliar
ton CO2 per tahunnya atau menyumbang 10% dari emisi CO2 di
dunia (Wetland International, (2006) dalam Hairiah K., et al., (2007)). Negara
Indonesia berdasarkan data dari Kementerian Kehutanan (2010) mempunyai luas
kawasan hutan sebesar 134,28 juta hektar, tentunya mempunyai peran yang sangat
penting untuk menjaga kondisi iklim dunia dengan mempertahankan luas kawasan
hutannya.
TN
Kelimutu sebagai salah satu kawasan konservasi mempunyai andil yang cukup besar
dalam mempertahankan kondisi iklim mikro khususnya disekitar lokasi kawasan
hutan. Kawasan hutan khususnya kawasan konservasi masih dianggap belum
mempunyai andil besar dalam pembangunan karena kawasan konservasi tidak bisa
dimanfaatkan secara riil yaitu dengan mengeksploitasi hasil kayunya. Dengan
adanya Protokol Kyoto yang Indonesia telah ikut meratifikasinya dijelaskan
bahwa adanya pasar bagi pemanfaatan hutan sebagai penyedia jasa lingkungan
melalui penyerapan karbon. Dalam kesepakatan itu adanya Scheme Debt For
Nature Swap (DNS) atau pendanaan konservasi melalui penghapusan hutang,
menilai secara ekonomis suatu lingkungan (environmental valuation),
pajak konservasi (conservation tax) dan kesepakatan mengenai perdagangan
karbon (carbon trade).
Potensi
Karbon Taman Nasional Kelimutu
Kawasan TN
Kelimutu sebagai kawasan hutan mempunyai potensi penyerapan karbon (carbon sequestration), dimana
berdasarkan identifikasi yang telah dilakukan Balai TN Kelimutu tahun 2010
telah diketahui setidaknya dalam luasan satu hektar di zona pemanfaatan
(Arboretum) TN Kelimutu mempunyai potensi karbon tersimpan 118,76 ton/hektar.
Dengan potensi karbon yang tinggi untuk kawasan hutan di daratan lahan kering
seperti di kepulauan NTT merupakan suatu nilai lebih dari suatu kawasan hutan
dalam hal ikut andil dalam penurunan tingkat emisi gas rumah kaca sebagai
penyebab perubahan iklim (climate change).
Di kawasan TN
Kelimutu terbagi kedalam 4 zona pengelolaan, yaitu zona inti (350,50 ha), zona rimba
(4.351,50 ha), zona rehabilitasi (558,50 ha) dan zona pemanfaatan (96,5 ha). Untuk data
potensi karbon tersimpan di zona rehabilitasi di TN Kelimutu dalam penelitian
ini mengacu pada data IPCC dengan keberagaman jenis tanaman ampupu (Eucalyptus urophylla) dengan jumlah
karbon per hektar sebesar 107,04 ton/ha. Sedangkan karakteristik di zona inti
TN Kelimutu yang didominasi tanaman ekosistem VR (Vaccinium varingiaefolium dan Rodhodendron renchianum) mengacu pada
data IPCC dengan karakteristik berupa lahan kering didataran Pulau Timor,
Propinsi Nusa Tenggara Timur yaitu sebesar 69,29 ton/ha.
Dalam
perhitungan potensi karbon tersimpan di TN Kelimutu menggunakan asumsi bahwa
setiap zona mempunyai karakteristik dan perkiraan jumlah karbon yang sama untuk
setiap tapak yang masih dalam satu zona. Perhitungan jumlah karbon menggunakan
faktor koreksi 0,95 dimana faktor koreksi ditentukan didasarkan pada kondisi
luas areal terbuka dengan penggunaan untuk berbagai kepentingan seperti untuk
jalan dan bangunan, yang luasnya diperkirakan mencapai 5%. Berdasarkan uraian
data potensi karbon tersimpan tersebut dapat dihitung nilai potensi karbon
tersimpan untuk masing-masing zona yang ada di TN Kelimutu. Dari perhitungan
yang dilakukan diketahui jumlah stock karbon tersimpan untuk kawasan TN
Kelimutu sebesar 581.646,00 ton (lihat Tabel 4.2.).
Tabel 4.2.
Jumlah Stock Karbon di Setiap Zona TN Kelimutu.
No.
|
Zona
|
Luas*)
(hektar)
|
Stock Karbon
(ton/ha)
|
Jumlah Stock Karbon
(ton)
|
1.
|
Zona Inti
|
332,975
|
69,29
|
23.071,84
|
2.
|
Zona Pemanfaatan
|
91,675
|
118,76
|
10.887,32
|
3.
|
Zona Rimba
|
4133,925
|
118,76
|
490.944,93
|
4.
|
Zona Rehabilitasi
|
530,100
|
107,04
|
56.741,90
|
Jumlah
|
5088.675
|
581.646,00
|
Keterangan: *) luas kawasan dengan faktor koreksi 0,95.
Nilai
Ekonomi Karbon Taman Nasional Kelimutu
Berdasarkan
penelitian yang dilakukan van Beukering, P.J.H., et al (2003) harga perdagangan karbon internasional adalah US $5
per ton karbon tersimpan. Dalam makalah ini diasumsikan harga karbon
tersimpan adalah US$ 5 per ton karbon. Mengacu pada hal tersebut maka nilai
ekonomi potensi karbon tersimpan dapat diketahui yaitu sebesar US$
2.908.229,99. Apabila diasumsikan nilai tukar untuk US$ 1 sebesar Rp.9.000,-,
maka nilai ekonomi potensi karbon tersimpan sebesar Rp.26.174.069.898,75,-
(26,174 milyar rupiah) per tahun. Nilai penyerapan karbon ini merupakan nilai
manfaat yang bisa diberikan masyarakat dunia atas kualitas ekosistem TN
Kelimutu sebagai kawasan hutan yang mampu berfungsi sebagai penyerap emisi CO2.
Bagi TN Kelimutu hasil perdagangan karbon dari fungsi penyerapan karbon
merupakan salah satu potensi sumber pendanaan untuk menjaga dan melestarikan
keberadaan dan existensi dari TN Kelimutu.
Penutup
Keterbatasan
dalam pelaksanaan perdagangan karbon saat ini diantaranya masih terbatasnya
informasi terkait potensi karbon tersimpan secara detail yang ada di kawasan
hutan Indonesia. Dengan mengetahui potensi karbon tersimpan maka langkah menuju
perdagangan karbon international akan lebih mudah karena Indonesia sebagai
negara “penjual karbon” telah memiliki data lengkap terkait produk yang dijual
dalam hal ini potensi karbon. Salah satu cara untuk mengetahui nilai ekonomi
potensi karbon tersimpan dengan melakukan pengukuran dan di penelitian ini
menggunakan pendekatan karakteristik kawasan dan penggunaan lahan untuk
mengetahui potensi karbon tersimpan.
Daftar
Acuan
Anonim.
1990. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990
Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Jakarta.
Anonim.
2010. Laporan Hasil: Identifikasi
Kemampuan Hutan Arboretum Dalam Penyerapan Karbon (Carbon Sequestration) di
Kawasan Taman Nasional Kelimutu. Balai Taman Nasional Kelimutu. Dirjen
PHKA. Kementerian Kehutanan. Ende – Flores, Nusa Tenggara Timur. (unpublished)
Anonim.
2010. Statistik Balai Taman Nasional
Kelimutu Tahun 2010. Balai Taman Nasional Kelimutu. Dirjen PHKA.
Kementerian Kehutanan. Ende – Flores, Nusa Tenggara Timur.
Anonim.
2011. Global Forest Resources Assesment
2010. FAO: Main Report.
Anonim.
2011. Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 28 Tahun 2011 Tentang Kawasan Suaka Alam Dan Kawasan
Pelestarian Alam. Jakarta.
Creedy,
John and Wurzbacher, Anke D. 2001. The Economic Value of A Forested Catchment
With Timber, Water and Carbon Sequestration Benefits. International Journal
of Ecological Economics 38 (2001) 71–83.
Hairiah,
K., & Subekti R. 2007. Petunjuk
Praktis Pengukuran “Karbon Tersimpan” Di Berbagai Macam Penggunaan Lahan.
World Agroforestry Centre, ICRAF Southeast Asia.
Tambunan,
Mangara. 2011. Teori dan aplikasi ekonomi
sumber daya alam dan lingkungan. Jakarta.
van
Beukering, P.J.H., Herman S.J. Cesara and Marco A. Janssen. 2003. Economic
Valuation of the Leuser National Park on Sumatra, Indonesia. International
Journal of Ecological Economics 44 (2003) 43 – 62.
No comments:
Post a Comment