Mata pencaharian
hidup masyarakat Lio yang
utama adalah bercocok tanam di ladang.
Para warga laki-laki dari sejumlah keluarga luas biasanya bekerja sama dalam
hal membuka ladang, mengolah lahan, seperti aktivitas memotong dan membersihkan
belukar, membakar daun-daunan, dan menanami lahan dengan berbagai jenis tanaman
seperti jagung, ubi kayu/ ketela/ singkong (pesi, kalau di Ende dikenal
dengan nobosi), padi (pare), holo wolo (semacam jewawut/cantel,
dulu merupakan makanan pokok masyarakat), kopi, kemiri, pisang baranga,
kakao/coklat, kacang
merah/kacang-kacangan, cengkeh, wortel, dan kentang.
Pohon aren cukup banyak, namun belum banyak dimanfaatkan oleh penduduk untuk membuat gula aren, baru ada sekitar tiga pembuat gula aren yang perlu ditingkatkan produktivitasnya. Sementara ini kebanyakan pohon aren hanya disadap air niranya, kemudian dibuat sejenis minuman tradisional/semacam arak (moke). Tanaman bambu (aur) juga banyak terdapat di daerah ini, ada tiga jenis bambu yakni wulose (bambu berukuran besar), toe (bambu berukuran sedang), dan wulu (bambu berukuran kecil). Potensi ini belum banyak dimanfaatkan, padahal prospeknya sangat bagus untuk dimanfaatkan sebagai beragam souvenir, meubeler, tas, topi, tirai, dan beragam hiasan lainnya. Beternak juga merupakan kegiatan yang penting, ternak utama masyarakat Lio antara lain babi, kuda, sapi, ayam, dan kambing. Hewan-hewan ini biasanya dipelihara untuk tujuan-tujuan yang berkaitan dengan adat, misalnya untuk membayar mas kawin, untuk disembelih dan dikonsumsi pada upacara-upacara adat, dan untuk dijadikan lambang kekayaan serta gengsi. Kuda merupakan hewan yang penting, disamping dimanfaatkan sebagai sarana untuk mengangkut barang, sarana transportasi, kuda juga sering dipakai sebagai mas kawin.
Pohon aren cukup banyak, namun belum banyak dimanfaatkan oleh penduduk untuk membuat gula aren, baru ada sekitar tiga pembuat gula aren yang perlu ditingkatkan produktivitasnya. Sementara ini kebanyakan pohon aren hanya disadap air niranya, kemudian dibuat sejenis minuman tradisional/semacam arak (moke). Tanaman bambu (aur) juga banyak terdapat di daerah ini, ada tiga jenis bambu yakni wulose (bambu berukuran besar), toe (bambu berukuran sedang), dan wulu (bambu berukuran kecil). Potensi ini belum banyak dimanfaatkan, padahal prospeknya sangat bagus untuk dimanfaatkan sebagai beragam souvenir, meubeler, tas, topi, tirai, dan beragam hiasan lainnya. Beternak juga merupakan kegiatan yang penting, ternak utama masyarakat Lio antara lain babi, kuda, sapi, ayam, dan kambing. Hewan-hewan ini biasanya dipelihara untuk tujuan-tujuan yang berkaitan dengan adat, misalnya untuk membayar mas kawin, untuk disembelih dan dikonsumsi pada upacara-upacara adat, dan untuk dijadikan lambang kekayaan serta gengsi. Kuda merupakan hewan yang penting, disamping dimanfaatkan sebagai sarana untuk mengangkut barang, sarana transportasi, kuda juga sering dipakai sebagai mas kawin.
Tinjauan
Pustaka
Pulau Flores merupakan salah satu pulau dari
deretan
kelompok-kelompok kepulauan yang merupakan wilayah dari Propinsi Nusa Tenggara
Timur. Daerah ini terdiri dari kelompok kepulauan Flores, Sumba, kelompok
kepulauan Timor dan dari kelompok kepulauan Tanimbar. Kelompok kepulauan Flores
terdiri dari pulau-pulau yakni pulau Flores, yang dikelilingi oleh pulau Komodo,
Rinca, Ende, Solor, Adonare dan Lomblem. Penduduk Flores sebenarnya tidak
merupakan satu suku bangsa dengan satu kebudayaan yang seluruhnya seragam, ada paling sedikit
delapan sub suku bangsa di antara mereka yang mempunyai logat-logat bahasa yang
berbeda-beda. Seperti pada orang Manggarai, orang Riung, orang Ngada, orang
Nage-Keo, orang Ende, orang Lio, orang Sikka, dan orang Larantuka. Perbedaan
kebudayaan sub suku bangsa Riung, Ngada, Nage-Keo, Ende, Lio dan Sikka tidak
begitu besar, namun perbedaan antara kelompok-kelompok sub suku bangsa tersebut
dengan orang Manggarai memang cukup besar. Juga dipandang dari sudut ciri-ciri
fisiknya ada suatu perbedaan yang mengesankan. Penduduk Flores mulai dari orang
Riung makin ke timur menunjukkan lebih banyak ciri-ciri Melanesia, seperti
halnya penduduk Irian, sedangkan orang Manggarai lebih banyak menunjukkan
ciri-ciri Mongoloid-Melayu.
Kondisi geografis dimana masyarakat Lio tinggal (di
daerah selatan pulau Flores) memang bisa dikatakan ganas, gunung gemunung,
bukit-bukit terjal dengan jurang-jurang yang dalam dan sungai-sungai yang
memiliki air tetap maupun sungai-sungai kering, agak berbeda bila dibandingkan
dengan daerah di utara yang mempunyai dataran-dataran rendah yang luas.
Masyarakat Lio yang berdiam di daerah sekitar kawasan Taman Nasional Kelimutu
antara lain masuk dalam wilayah administratif Kecamatan Wolojita, Kecamatan
Ndona Timur, Kecamatan Ndona, Kecamatan Detusoko, dan Kecamatan Kelimutu. Adapun desa-desa yang
berada di sekitar kawasan Taman Nasional Kelimutu antara lain desa: Sokoria,
Saga, Ndito, Niowula, Wolofeo, Detusoko Barat, Wologai Timur, Wologai Tengah,
Wologai, Nuamuri Barat, Pemo, Koanara, Woloara, Tenda, Wiwipemo, Kelikiku,
Jopu, Mbuliloo, Wolomasi, Nduaria, dan Roga.
Rumusan dan Analisa Masalah
Masyarakat Lio keberadaannya tidak bisa dilepaskan
dengan kawasan Kelimutu, ikatan batin keduanya sudah terjalin saat mereka ada.
Masyarakat Lio yang keberadaannya sudah ratusan tahun (bahkan mungkin ribuan
tahun) itu, selalu bisa hidup dengan harmonis dengan alam di sekitarnya.
Berdasarkan analisa geologis daerah ini (di sekitar daerah Sokoria), merupakan
tempat hunian semenjak masa purba/pra sejarah. Namun hal ini perlu adanya
kajian arkeologis yang lebih mendalam, untuk membuktikannya apakah terdapat
artefak yang mendukung pernyataan tersebut. Namun dari istilah lokal masyarakat
Lio juga mengenal daerah yang disebut Lio Nian Gun, yang berarti Lio Dunia
Purba, sehingga kemungkinan memang ada pemukiman purba, bahwa daerah ini sudah
dihuni semenjak dahulu kala.
Sehingga sangat wajar apabila masyarakat Lio mempunyai
kepercayaan atau keyakinan, bahwa di kawasan Kelimutu (di puncak dan di
danaunya) merupakan tempat tinggal arwah nenek moyang mereka, tempat tinggal
para arwah nantinya. Karena adanya keterikatan batin dan keterikatan wilayah
yang sudah berjalan ratusan tahun tersebut, menyebabkan masyarakat Lio sangat
tergantung pada kawasan ini (Taman Nasional Kelimutu). Sehingga sangatlah
mustahil apabila mereka akan merusak kawasan ini, sebaliknya mereka akan
menjaga, merawat, dan mempertahankannya secara mati-matian, apabila ada yang
berani merusak kawasan ini. Jadi tinggal bagaimana pihak Taman Nasioanal
Kelimutu merangkul masyarakat Lio, untuk diajak mengelola kawasan ini.
Bagaimana memanfaatkan kearifan tradisional mereka, untuk meningkatkan potensi
kawasan Taman Nasional Kelimutu agar lebih dikenal, lebih banyak dikunjungi,
dan lebih dikenal dunia. Sehingga secara tidak langsung juga meningkatkan
kesejahteraan masyarakat Lio, yang berada di sekitar kawasan TNKM. Saat ini
masyarakat Lio berada pada masa transisi, masa perubahan, masa peralihan,
sehingga bisa dikatakan bahwa masyarakat Lio adalah masyarakat transisional.
Kondisi dimana sebuah masyarakat di satu sisi telah menginjak dunia atau alam
modern/kemajuan, namun di sisi lain mereka juga belum sepenuhnya meninggalkan
alam tradisional, dunia adat mereka. Masyarakat Lio sudah mengenal produk
teknologi tinggi seperti hand phone, telivisi, sepeda motor, parabola, serta
barang-barang elektronik lainnya. Namun mereka juga tetap melaksanakan tradisi,
ritual adat dalam berbagai aspek kehidupannya seperti penentuan hari baik,
ritual yang berkaitan dengan kematian, kelahiran, dan lain-lain.
Potensi sumber daya alamnya seperti tersedianya
tanaman bambu yang begitu melimpah, belum dimanfaatkan secara maksimal. Hal ini
memang belum tersedianya tenaga terampil yang bisa membuat beragam kerajinan
dari bahan bambu (souvenir, tas, topi, asbak, hiasan, meubeler, dan lain-lain).
Jadi perlu adanya pelatihan untuk memberikan ketrampilan dalam mengolah bambu
menjadi produk yang bermanfaat, menarik, dan mempunyai nilai jual. Kemudian
tersedianya pohon aren yang begitu melimpah, namun belum ada usaha pengolahan
seperti untuk pembuatan gula aren. Kalau kegiatan pembuatan gula aren bisa
disosialisasikan, diperkenalkan, dan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat Lio.
Maka potensi ini sangat bermanfaat dalam upaya meningkatkan kesejahteraan
masyarakat Lio, tinggal bagaimana memotivasi ke arah peningkatan produktivitas
tersebut. Karena selama ini pohon aren hanya dimanfaatkan untuk diambil air
niranya sebagai bahan pembuatan moke (arak), memang keberadaan moke tidak
bisa dilepaskan dari kebiasaan adat. Setiap kegiatan atau aktivitas ritual
selalu menyertakan moke, hal ini tidak terlepas dari sejarah
keberadaannya. Sebab dahulunya menurut mitos, orang pertama atau cikal bakal
orang Lio (kakak beradik) yang kemudian menjadi suami istri, kemudian mempunyai
anak. Karena ibunya meninggal, maka sang bayi tidak bisa menyusui, sebagai
gantinya sang ayah memberikan minum air nira. Sehingga air nira dianggap
sebagai air kehidupan, yang bisa menyambung kehidupan sang anak tadi. Maka air
nira mempunyai peranan yang dianggap sangat penting dalam kehidupan masyarakat
Lio. Seperti halnya ukiran di rumah-rumah adat yang selalu ada ukiran buah
dada, sebagai lambang kehidupan, lambang kesuburan. Pohon kemiri juga sangat
melimpah, namun pemanfaatannya juga belum maksimal. Padahal manfaat buah kemiri
begitu banyak misalnya sebagai bahan minyak kemiri, sebagai bahan pewarna,
sebagai bahan pembuatan bumbu untuk masakan, dan lain-lain. Potensi sumber mata
air juga belum banyak dimanfaatkan, padahal ini sangat menjanjikan,
ketergantungan air kemasan dari daerah luar sangat terasa, apabila kiriman terlambat
maka kelangkaan air kemasan terjadi. Sementara sumber mata air begitu tersedia
di daerah sekitar kawasan TNKM, misalnya saja dengan ketersedian usaha
pengisian air isi ulang akan sangat membantu masyarakat.
Kearifan tradisional masyarakat Lio dalam pengolahan
atau penggarapan lahan, sawah, seperti yang tercermin dalam sistem kebe kolo
(semacam sistem subak di Bali) yakni sistem terasering, adalah salah
satu bentuk keperdulian masyarakat terhadap lingkungannya. Karena masyarakat
Lio dalam mengolah ladang/sawah, selalu menjaga keharmonisan dengan alam
lingkungannya, menjaga kelestarian alam. Sebab mereka sadar kehidupan
tergantung dari bagaimana memperlakukan alam, bagaimana memperlakukan
lingkungan di sekitarnya. Hal ini juga terlihat dari kesadaran mereka berkaitan
dengan pembangunan rumah adat, yang membutuhkan kayu adat (wowo, najubalu,
mbu) yang berada di kawasan TNKM, mereka sedikit demi sedikit berusaha
menggantikan dengan kayu lain (nangka, kelapa). Juga adanya upaya
pembibitan/pembudidayaan kayu-kayu adat tersebut untuk ditanam di luar kawasan
TNKM, sehingga nantinya kawasan TNKM benar-benar terjaga, lestari, dan tidak
mengalami kerusakan/ pengrusakan/ perambahan dari masyarakat di sekitarnya.
Kesimpulan dan Saran
1.
Kesimpulan
Pihak Balai Taman Nasional Kelimutu dengan masyarakat
Lio adalah dua institusi yang mempunyai kepentingan sama, yakni menjaga kawasan
Taman Nasional Kelimutu agar tetap terjaga eksistensinya.
Taman Nasional Kelimutu merupakan UPT Departemen
Kehutanan yang merupakan kepanjangan tangan dari pemerintah mempunyai
kepentingan agar kawasan konservasi sebagai salah satu penyangga kehidupan
masyarakat sekitarnya harus dikelola secara baik dan bekesinambungan sehingga
fungsi fungsi yang terkandung di dalamnya yakni fungsi perlindungan,
pelestarian dan pemanfaatan secara lestari tetap berada pada posisinya.
Sementara itu masyarakat Lio adalah institusi adat yang telah ratusan
tahun mendiami daerah tersebut, sebelum NKRI terbentuk mereka sudah ada. Secara
turun menurun telah menjalnkan aktifitasnya berdasarkan kemampuan yang
dimiliki, keraifan berpikir dan bertindak secara tardisional berupaya menjaga
agar kesinambungan manfaat dan fungsi lahan dan keberadaan leluhurnya tetap ada
sampai ke generasi generrasi penerusnya sepanjang jaman.
Kearifan tradisional masyarakat Lio yang berkaitan
dengan pengolahan lahan, tidak terlepas dari kepercayaan yang mereka anut.
Kepercayaan yang telah mereka hayati selama ratusan tahun tersebut, memberikan
warna bagaimana masyarakat Lio memperlakukan alam di sekitarnya.
Dengan demikian pada dasarnya ke duanya mempunyai
kepentingan yang sama menjaga kelestarian sumber daya alam. Keberadaannya wajib
kita hormati, wajib kita jadikan mitra
yang sejajar kedudukannya, untuk mengelola, mengawasi, mengamankan Taman
Nasional Kelimutu agar lebih optimal.
2.
Saran
Mensinergikan
institusi adat, semangat adat (spirit adat) dengan institusi modern (Taman Nasional Kelimutu), merupakan salah
satu jalan atau upaya dalam mengelola sumber daya alam, serta potensi budaya
masyarakat Lio, untuk kelangsungan hidup masyarakat Lio khususnya, peningkatan
kesejahteraan masyarakat Lio maupun
masyarakat NTT, dan Indonesia secara umum.
Meningkatkan peran serta
Taman Nasional Kelimutu dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat Lio yang
berada di sekitar kawasan Taman Nasional Kelimutu. Dengan demikian keberadaan Taman Nasional Kelimutu, tentunya
akan semakin diakui, semakin dikenal secara luas, bisa dijadikan sebagai
percontohan untuk daerah lain. Karena warisan yang paling berharga untuk anak
cucu kita adalah masih terjaganya, masih utuhnya lingkungan kawasan Kelimutu yang tiada
duanya di dunia. Dan diusulkan sebagai salah satu warisan dunia (world heritage) ke UNESCO.
Daftar
Pustaka
Anonim. 2005. Surat Edaran
Kepala Biro Kepegawaian No: SE.02/Peg-4/2005 tanggal 28 Nopember 2005 perihal
Pedoman Penyusunan dan Penilaian Karya Tulis/ Karya Ilmiah Pejabat Fungsional
di Departemen Kehutanan, Sekretariat Jenderal Departemen Kehutanan. Jakarta.
Aoki,
Eriko. The Case of The Purloined Statues: The Power of Words Among The
Lionese. LIPI dan Universitas Nusa Cendana Kupang. 1978.
Orinbao,
P. Sareng. Tata Berladang Tradisional dan Pertanian Rasional Suku Bangsa Lio.
Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero. Nita – Flores. 1992.
Koentjaraningrat. Pengantar Antropologi
II, Pokok-pokok Etnografi. PT Rineksa Cipta. Jakarta. 1998.
Syani, Abdul.
Sosiologi, Skematika Teori dan Terapan. PT. Bumi Aksara. Jakarta.
1994.
No comments:
Post a Comment