5 September 2012

Babi Hutan (Sus scrofa) dan Masyarakat Sekitar Kawasan TN Kelimutu

Keberadaan babi hutan yang di satu sisi menjadi hama bagi masyarakat sekitar kawasan karena masuk di lahan-lahan pertanian, namun di sisi lain babi hutan juga sebagai salah satu keanekaragaman hayati yang harus dilindungi. Untuk itu diperlukan suatu cara agar keberadaan babi hutan tetap dapat lestari dan tanaman pertanian penduduk terselamatkan.
Untuk memanajemen hal ini diperlukan informasi awal mengenai persebaran babi hutan di dalam dan sekitar kawasan Taman Nasional Kelimutu. Kebiasaan hidup masyarakat Flores pada umumnya yang mengonsumsi daging babi menjadikan babi hutan kerap diburu untuk diambil dagingnya. Dibeberapa tempat khususnya disekitar kawasan Taman Nasional Kelimutu masih ditemui adanya jerat babi hutan yang dibuat secara tradisional dengan menggunakan bamboo/ bambu atau batang pohon yang panjang.

Tidak bisa dipungkiri lagi perilaku seperti ini juga menjadi penyebab berkurangnya populasi babi hutan di habitatnya. Berangkat dari kondisi ini penulis mencoba untuk mengulas tentang potensi babi hutan dan hubungannya dengan masyarakat yang berada di sekitar kawasan TN Kelimutu serta perannya dalam mendukung potensi wisata Danau Kelimutu.

Tinjauan Pustaka

Babi hutan (Sus scrofa) atau celeng adalah babi liar yang menurunkan babi ternak (Sus domesticus) dan termasuk familia Suidae. Menurut Singer et al, Russo, Massei & Genov, dalam Leaper R. et al. (1999) mengemukakan bahwa babi hutan (Sus scrofa) merupakan binatang malam (nocturnal). Aktivitas harian babi hutan sebagian besar digunakan untuk mencari makan yaitu 67,5% dari seluruh aktivitas harian, dan umumnya pencarian makan dilakukan pada malam hari dan mulai aktif merusak tanaman saat tengah malam sampai menjelang subuh. Daya jelajah (home range) babi hutan (Sus scrofa) dalam beberapa riset yang telah dilakukan menunjukkan sangat beragam. Perkiraan home range tahunan menurut Saunders & Kay dalam Leaper, R. et al. (1999) mempunyai kisaran 4,0 hingga 21,8 km2, sedangkan menurut Massei et al. dalam Leaper, R. et al. (1999) diantara 4,6 dan 16,4 km2 atau menurut Jullien et al. dalam Leaper, R. et al (1999) rata-rata home range tahunan adalah 26 km2. Jenis makanan yang disukai babi hutan di lahan pertanian terutama adalah terong, cabai, jagung, singkong, padi, jambu, cacing tanah, serangga dan ikan.

Daerah penyebaran Babi hutan adalah di hutan-hutan Eropa Tengah, Mediterania (termasuk Pegunungan Atlas di Afrika Tengah) dan sebagian besar Asia hingga paling Selatan di Indonesia. Persebaran babi hutan di seluruh wilayah Asia Tenggara, dengan spesifikasi ukuran tubuh babi hutan di wilayah Peninsular Malaysia, Singapura dan Indonesia bagian Barat cenderung lebih kecil dibanding tempat lain (D.L., Yong. 2010). Taman Nasional Kelimutu merupakan salah satu habitat alami babi hutan (Sus scrofa) di Pulau Flores.

Rumusan dan Analisa Masalah

1.    Persebaran babi hutan disekitar kawasan TN Kelimutu

Berdasarkan data terakhir yang didapat dari kajian yang dilakukan Balai TN Kelimutu (2010) kerapatan babi hutan di dalam kawasan TN Kelimutu 3,57 individu/ km2 atau 4 individu (dibulatkan) babi hutan ditemukan per km2 luasan kawasan TN Kelimutu. Dengan persebaran babi hutan di dalam dan sekitar kawasan TN Kelimutu dapat dilihat pada gambar berikut:

Dalam penelitian-penelitian di beberapa negara dididapatkan referensi mengenai jumlah populasi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Leaper R. et al. (1999) di Skotlandia populasi yang mendiami tiap km persegi luasan area dihuni oleh 3 hingga 5 individu. Bahkan menurut penelitian yang dilakukan Andrzejewski & Jezierski dalam Leaper R. et al. (1999) melaporkan bahwa di Taman Nasional Kampinos di Polandia kerapatan/ populasi babi hutan bisa mencapai 10 individu/km2 dan masih tergolong wajar. Berdasarkan literature tersebut membuktikan bahwa jumlah populasi babi hutan di kawasan TN Kelimutu masih tergolong sangat wajar, dan belum mencapai tataran over populasi.

Home range atau daya jelajah babi hutan di kawasan TN Kelimutu belum bisa diketahui dengan pasti karena keberagaman/ karakteristik topografi kawasan yang berjurang dan bertebing tentunya akan mempersempit home range/ daya jelajah babi hutan. Namun secara umum ukuran/ luasan daya jelajah (home range) babi hutan menurut Gerard & Campan dalam Leaper, R. et al (1999) tergantung pada beberapa faktor yang mempengaruhi diantaranya kemelimpahan/ kerapatan/ populasi babi hutan, ketersedian sumber pakan, usia babi hutan, jenis kelamin, status psikologis dari babi hutan (tekanan/ stress), kualitas habitat, kerapatan populasi serta gangguan manusia. Dengan demikian ditemukannya babi hutan menjadi hama di beberapa tempat disekitar kawasan bisa disebabkan oleh faktor-faktor tersebut sehingga hal ini memungkinkan babi hutan melakukan pergerakan yang lebih luas, sehingga mencapai lokasi lahan-lahan masyarakat.

Pengamatan yang dilakukan dilapangan ditemukan jejak-jejak babi hutan seperti jejak kaki, bekas gusiran tanah oleh moncong babi hutan, bekas gigitan dipohon-pohon, serta ditemukan kubangan. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan terhadap bekas-bekas tersebut babi hutan dapat diketahui bahwa babi hutan juga memakan fauna tanah seperti cacing, jangkrik dan sebagainya. Di wilayah Resort Ndona Timur ditemukan adanya sarang babi yang sudah ditinggalkan. Sarang yang ditinggalkan berupa tumpukan-tumpukan alang-alang dan ranting pohon yang tersusun sedemikian rupa sehingga Nampak ada rongga dibawahnya.

2.    Babi Hutan Sebagai Hama di Lahan Pertanian

Serangan babi hutan sudah terjadi di wilayah Resort Kelimutu, Wolojita, Resort Wolojita dan Resort Ndona Timur. Di wilayah Resort Kelimutu hasil identifikasi lokasi ditemukan banyak kerusakan yang disebabkan keberadaan hama babi hutan dan juga ditemukan kerusakan yang disebabkan hama monyet ekor panjang. Hama babi hutan melakukan pengrusakan/mencari makan di saat malam hari, sehingga para petani yang mempunyai lahan olahan yang ditanami tanaman jenis umbi-umbian, jagung, maupun cabe harus melakukan kerja ekstra dimana harus menjaga kebun disaat malam hari. Masyarakat menjaga kebun dari serangan babi hutan dengan menggunakan anjing piaraan yang sudah dididik untuk membantu memburu babi hutan yang dating atau binatang lain seperti monyet yang datang hendak merusak tanaman.

3.    Babi Hutan Sebagai Sumber Protein Hewani Bagi Masyarakat

Di wilayah Resort Pengelolaan ditemukan adanya jerat/ jebakan yang dipasang untuk menjerat babi hutan yang masuk ladang masyarakat. Jerat babi hutan di pasang diluar kawasan di semak-semak yang ditengarai sebagai jalur lintasan babi hutan. Babi hasil jeratan biasanya akan dikonsumsi oleh masyarakat sebagai tambahan protein hewani, meskipun kadang-kadang juga dijual ke pasar. Selain itu untuk mengurangi akibat serangan babi hutan, masyarakat memagari kebun dengan pagar hidup berupa tanaman Gamal (Gliricidia sepium), namun hal ini tidak sepenuhnya efektif.

Di Desa Woloara juga ditemukan adanya jerat/ jebakan yang dipasang untuk menjerat babi hutan yang masuk ladang masyarakat. Jerat babi hutan di pasang diluar kawasan di semak-semak yang ditengarai sebagai jalur lintasan babi hutan. Babi hasil jeratan biasanya akan dikonsumsi oleh masyarakat sebagai tambahan protein hewani, meskipun kadang-kadang juga dijual ke pasar.

4.    Babi Hutan Sebagai Penambah Atraksi Wisata Dan Metode Pembinaan Habitat

Di dekat Danau Kelimutu tepatnya di areal helipad (areal feeding ground) bisa dijumpai kawanan babi hutan sebanyak lebih kurang 8 ekor. Babi hutan memakan makanan sisa monyet ekor panjang (Maccaca fascicularis). Sisa makanan monyet ini berupa pisang dan ketela pohon yang merupakan makanan yang diberikan kepada monyet setiap hari di areal feeding ground. Keberadaan babi hutan di areal feeding ground merupakan proses kegiatan berburu babi hutan dalam mendapatkan makanan, dimana sumber pakan yang ada di dalam kawasan hutan sudah tidak ada sehingga berburu makanan ke areal feeding ground yang tersedia sumber pakan berupa ketela pohon ataupun pisang yang disediakan pengelola untuk makanan monyet ekor panjang.

Jejak dan bekas kubangan babi hutan juga ditemukan di daerah arboretum TN Kelimutu, di daerah ini ditemukan bekas gusiran babi hutan ke tanah yang diduga mencari fauna tanah karena karakteristik tanah arboretum yang lembab dan sangat gembur sehingga sangat banyak sekali potensi fauna tanahnya. Jalur-jalur lintasan babi hutan ditemukan dibelakang pos jaga TN Kelimutu. Di daerah ini banyak ditumbuhi kerinyu dengan ketinggian mencapai 2 hingga 3 meter. Sehingga mengakibatkan tanah di bawahnya menjadi sangat lembab dengan fauna tanah cacing juga melimpah. Dalam jalur-jalur lintasan juga terdapat bekas gigitan/ srudukan babi hutan di pohon-pohon yang berada disepanjang jalur lintasan. Babi hutan termasuk pemakan segala maka babi hutan juga memakan kulit-kulit kayu yang terkelupas. Lokasi koordinat dan perkiraan jumlah babi hutan secara detail bisa dilihat di Tabel 1.

Menurut Shawn (1985) dalam Napitu J., P. et al. mengemukakan bahwa komponen habitat yang dapat mengendalikan kehidupan satwa liar diantaranya adalah:

1.     Pakan (food), merupakan komponen habitat yang paling nyata dan setiap jenis satwa mempunyai kesukaan yang berbeda dalam memilih pakannya. Sedangkan ketersediaan pakan erat hubungannya dengan perubahan musim;

2.     Pelindung (cover), adalah segala tempat dalam habitat yang mampu memberikan perlindungan bagi satwa dari cuaca dan predator, ataupun menyediakan kondisi yang lebih baik dan menguntungkan bagi kelangsungan kehidupan satwa;

3.     Air (water), dibutuhkan oleh satwa dalam proses metabolisme dalam tubuh satwa. Kebutuhan air bagi satwa bervariasi, tergantung air dan/ atau tidak tergantung air.Ketersediaan air pada habitat akan dapat mengubah kondisi habitat, yang secara langsung ataupun tidak langsung akan berpengaruh pada kehidupan satwa;

4.     Ruang (space), dibutuhkan oleh individu-individu satwa untuk mendapatkan cukup pakan, pelindung, air dan tempat untuk kawin. Besarnya ruang yang dibutuhkan tergantung ukuran populasi, sementara itu populasi tergantung besarnya satwa, jenis pakan, produktivitas dan keragaman habitat.

Sehingga dalam pengelolaan satwa liar jenis babi hutan (Sus scrofa) perlu memperhatikan aspek-aspek tersebut diatas. Keberadaan babi hutan di lahan masyarakat yang bisa dikategorikan hama karena menyerang komoditi pertanian bisa disebabkan karena faktor-faktor tersebut diatas, akantetapi kebiasaan yang sudah ada di masyarakat yang sudah mempunyai binatang piaraan/ ternak berupa babi juga bisa menjadi pemicu yang mengakibatkan kedatangan babi hutan dari dalam kawasan untuk keluar kawasan (lahan masyarakat). Karena dibeberapa tempat yang diamati di kawasan TN Kelimutu menunjukkan kedatangan babi hutan yang menjangkau lokasi babi piaraan berada, seperti yang terjadi di desa Wiwipemo.

Kesimpulan dan Saran

1.         Kesimpulan

Populasi babi hutan (Sus scrofa) di dalam dan di luar kawasan TN Kelimutu mempunyai keterikatan dengan kehidupan masyarakat baik sebagai hama (dampak negatif) maupun mendukung dalam ketersediaan binatang buruan (sumber protein hewani), serta keberadaan babi hutan di zona pemanfaatan dapat menambah daya tarik wisata.

2.         Saran

Potensi keberadaan babi hutan akan memberikan manfaat yang besar apabila dikelola dengan benar. Beberapa hal yang perlu dilakukan dalam pengelolaan satwa liar jenis babi hutan (Sus scrofa) diantaranya perlu dilakukan kajian yang lebih mendalam tentang potensi kemelimpahan babi hutan (Sus scrofa) di dalam kawasan TN Kelimutu. Pengelolaan satwa babi hutan lebih lanjut dilakukan studi tentang potensi babi hutan (Sus scrofa) untuk bisa dibudidayakan melalui program pemberdayaan masyarakat dan perlu dilakukan kajian potensi babi hutan (Sus scrofa) sebagai sumber protein bagi masyarakat sekitar kawasan dengan melakukan kajian detail mengenai kandungan protein hewani/ gizi.

A.      Daftar Pustaka

Anonim. 2005. Surat Edaran Kepala Biro Kepegawaian No: SE.02/Peg-4/2005 tanggal 28 Nopember 2005 perihal Pedoman Penyusunan dan Penilaian Karya Tulis/ Karya Ilmiah Pejabat Fungsional di Departemen Kehutanan, Sekretariat Jenderal Departemen Kehutanan. Jakarta.

Anonim. 2010. Laporan: Identifikasi Persebaran Populasi Babi Hutan (Sus scrofa) Dalam Kawasan TN Kelimutu dan Sekitarnya. Balai Taman Nasional Kelimutu. Ende Flores. NTT.

Hebeisen, C., J. Fattebert & E. Baubet & C. Fischer. 2008. Estimating wild boar (Sus scrofa) abundance and density using capture–resights in Canton of Geneva, Switzerland. Eur J Wildl Res 2008 54: 391–401. DOI 10.1007/ s10344-007-0156-5. ORIGINAL PAPER.

Leaper, R., G. Massei, M. L. Gorman & R. Aspinall. 1999. The Feasibility Of Reintroducing Wild Boar (Sus Scrofa) To Scotland. Mammal Rev. 1999, Volume 29, No. 4, 239–259. Printed in Great Britain. United Kingdom.

Napitu J., P. et al. 2007. Laporan Praktikum: “Konservasi Satwa Liar”. Program Pasca Sarjana Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.

Shrestha, Mahendra Kumar. 2004. Relative Ungulate Abundance in a Fragmented Landscape: Implications for Tiger Conservation. A Thesis Submitted To The Faculty Of The Graduate School Of The University Of Minnesota.

Yong., L.E, B. P. Y-H. Lee, A. Ang and K. H. Tan. 2010. The Status on Singapore Island of the Eurasian Wild Pig Sus Scrofa (Mammalia: Suidae). Nature in Singapore 3: 227–237 Date of Publication: 7 September 2010, National University of Singapore.

[1] Dikutip dari Laporan: Identifikasi Persebaran Populasi Babi Hutan (Sus scrofa) Dalam Kawasan TN Kelimutu dan Sekitarnya. Balai Taman Nasional Kelimutu. Ende Flores. NTT

No comments: