28 August 2012

Monyet Ekor Panjang dan Masyarakat Sekitar Kawasan TN Kelimutu

Taman Nasional Kelimutu di Pulau Flores adalah salah satu sebaran terkini monyet ekor panjang di wilayah Sunda Kecil yang meliputi Pulau Bali, Lombok, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. Keberadaan monyet ekor panjang disekitar kawasan TN Kelimutu memiliki dampak yang negative karena aktifitasnya yang cenderung destruktif terhadap keberadaan lahan pertanian/ ladang masyarakat yang berbatasan disekitar kawasan hutan TN Kelimutu.
Menurut Foden (1995), laut di kawasan Sunda Kecil dan pulau-pulau sekitarnya pada 18.000 tahun silam surut lebih dari 120 meter di banding sekarang, dan saat itulah dimungkinkan monyet-monyet itu bermigrasi dari dataran Sunda (Jawa, Sumatera, dan Kalimantan). Sangat minim mengenai data-data hasil penelitian monyet ekor panjang di wilayah ini, laporan kegiatan penelitian di Taman Nasional Kelimutu terkait dengan monyet ekor panjang dapat di jumpai di zona pemanfaatan dan zona rimba dan masyarakat menyebut primata ini Ro’a (Anonim, 2007).
Tinjauan Pustaka
1.    Deskripsi Monyet Ekor Panjang
Macaca fascicularis (Raffles, 1821), secara umum juga dikenal dengan nama monyet ekor panjang, adalah species yang tersebar luas wilayah tropis Asia tenggara (Eudey,2008). Primata ini termasuk kategori monyet dunia lama (old world monkeys) dalam family Cercopithecidae. Monyet ekor panjang di kategorikan lagi dalam subfamily Cercopithecinae yang terkait dengan  adaptasi makanannya. Primata dalam subfamily ini mempunyai gigi geraham yang rendah, mempunyai kantung pipi untuk menyimpan makanan dalam jangka waktu yang singkat, dan buah-buahan adalah sebagian makanannya (Rowe,1996).
Secara morphology, monyet ekor panjang mempunyai warna bervariasi dari abu-abu hingga coklat kemerah-merahan, dengan bulu yang lebih terang pada bagian ventral. Panjang tubuh berkisar antara 385 -648 mm, panjang ekor berkisar antara 400-655 mm. Berat tubuh jantan dewasa antara 4,7-8,3 kg, sementara betina berkisar antara 2,5 – 5,7 kg. Betina dewasa mempunyai masa kehamilan selama 153 – 179 hari. Umur dapat mencapai 37,1 tahun. Kematangan seksual rata-rata pada umur 51,6 bulan (betina) dan (jantan) 50,4 bulan. Anak/Bayi yang baru lahir mempunyai rambut yang berwarna kehitaman. Hidup pada hutan primer dan sekunder mulai dataran rendah sampai dataran tinggi hingga ketinggian 2000 meter diatas permukaan laut, hidup di daerah pantai, mangrove, tepi-tepi sungai juga bahkan di tebing-tebing batu karang (Setiawan et al,2008). Monyet ini sangat toleran dengan manusia dan biasanya ditemukan di dekat perkampungan atau ladang, sehingga sering menjadi hama (crop raider) makan sebagian besar buah (64%), biji-bijian, daun, serangga, kepiting atau jenis moluska lainnya, memiliki pergerakan dengan keempat alat geraknya (quadrapedal). Monyet ekor panjang hidup berkelompok yang mempunyai struktur sosial Multimale-Multifemale, dengan rasion 2,5 betina untuk 1 jantan dalam rata-rata kelompok, ukuran kelompok antara 10-48 individu, hingga mencapai ratusan, tingkat sosial juga jelas nampak dalam satu kelompok, jantan dominan biasanya memimpin kelompok ini, memiliki daerah jelajah 25-200 ha, dengan jelajah harian berkisar 150- 1500 km, (Supriatna dan Wahyono, 2010; Rowe, 1999).
2.    Migrasi/ penyebaran monyet ekor panjang
Monyet ekor panjang mulai bermigrasi ke wilayah kepulauan Indonesia dari daratan Asia kurang lebih 18 000 ribu tahun yang silam, ketika permukaan laut lebih rendah 120 meter dibanding sekarang (Fooden,1995). Macaca fascicularis mempunyai 10 subjenis yang tersebar di seluruh Asia, terutama asia tenggara. Macaca fascicularis fascularis adalah subjenis yang terdapat di Brunei, Cambodia, Indonesia ( Sumatera, Jawa, Kalimantan, Bali, Lombok, Sumbawa, Flores, Sumba hingga Pulau Timor), Malaysia, Filipina, Singapore, Thailand  Selatan and Viet Nam  bagian selatan (Groves 2001).
Rumusan dan Analisa Masalah
1.    Kemelimpahan Monyet Ekor Panjang di Kawasan TN Kelimutu
Sampai sekarang monyet ekor panjang juga masih terus bertahan hidup dan berkembang di Pulau Flores termasuk di kawasan konservasi Taman Nasional Kelimutu. Belum ada dokumen ilmiah terkait dengan status monyet ekor panjang di kawasan Sunda Kecil khususnya di kawasan konservasi yang terkenal dengan danau tiga warnanya ini. Kondisi terkini di kawasan wisata danau Kelimutu monyet ini sering terlihat mencari makanan sisa pengunjung di tempat sampah, potensi sebagai salah satu tambahan atraksi wisata juga di lakukan dengan membuat feeding ground sebagai tempat untuk memberi makan monyet. Sebagai mana di banyak tempat di Indonesia monyet ini memang berkontribusi dalam pengembangan wisata (Soma et al,2009). Namun terlepas dari potensi positifnya, monyet ekor panjang di lokasi wisata juga mempunyai potensi permasalahan, konflik manusia dan primata, agresifitas, perubahan perilaku dan potensi zoonosis (penularan penyakit dari manusia ke hewan dan sebaliknya). Untuk mengidentifikasi sebaran populasi monyet ekor panjang di Kawasan Taman Nasional Kelimutu, dan sekitarnya pihak Balai Taman Nasional Kelimutu telah melakukan sebuah kajian dengan judul identifikasi persebaran kera ekor panjang (Macaca fascicularis) yang dilaksanakan pada bulan Agustus tahun 2010. Kajian tersebut dimaksudkan untuk dasar pengelolaan dalam konservasi monyet ekor panjang di baik di dalam kawasan maupun diluar/ sekitar kawasan Taman Nasional Kelimutu serta adanya sebuah dokumen ilmiah yang bermanfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan konservasi primata di kawasan sunda kecil, khususnya flores dan sekitarnya.
Berdasarkan survey yang dilakukan, jalur yang telah dilalui selama pelaksanaan penelitian ini adalah ± 67,7 km, dengan perjumpaan sebanyak 15 kelompok (lihat tabel.1)  dengan demikian nilai encounter rate nya adalah 0,22 kelompok,  apabila rata-rata jumlah individu tiap kelompok adalah 22,66 individu ( range 5- 50 individu) maka kurang lebih 5 individu dapat di jumpai setiap kilometer-nya.
2.    Monyet ekor panjang di “mata” masyarakat sekitar kawasan TN Kelimutu
Masyarakat sekitar kawasan konservasi TN Kelimutu sangat familiar sekali dengan keberadaan monyet ekor panjang. Keberadaan monyet ekor panjang yang bisa dijumpai disekeliling kawasan TN Kelimutu membuat satwa liar jenis ini sangat dekat dengan masyarakat. Bahkan, di daerah yang jauh dengan kawasan taman nasional pun masih sering dijumpai adanya monyet ekor panjang. Akantetapi kedekatan antara satwa ini dengan masyarakat cenderung berdampak negative. Dimana, satwa monyet ekor panjang ditemui menjadi hama petani khususnya petani ladang yang berada diperbatasan-perbatasan kawasan TN Kelimutu. Sifat agresif dan sangat tolerannya jenis satwa monyet ekor panjang ini sehingga satwa ini mampu beradaptasi dengan adanya keberadaan manusia. Tidak jarang ditemui di sepanjang perbatasan adanya kelompok monyet ekor panjang baik mencari makan maupun sedang beraktifitas yang lain. Hal ini seperti dikemukan oleh Supriatna dan Wahyono (2010) serta Rowe (1999) bahwa tipikal jenis monyet ini yang sangat menyukai habitat yang berdekatan dengan manusia. Solusi yang bisa diambil dalam mengurangi dampak pengrusakan akibat masuknya satwa monyet ekor panjang ke dalam lahan pertanian diantaranya menggunakan cara-cara sebagai berikut:
a.       Menyediakan pakan alami dengan cara menanam tanaman yang disukai monyet (jambu biji, nangka, jenis Ficus sp.) disepanjang batas lahan pertanian masyarakat.
b.      Memberlakukan penanaman tanaman pertanian dengan metode zoning (pembagian kelompok tanaman berdasarkan jenis tanaman).
 Ketersediaan pakan yang bervariasi berdasar musim akan berpengaruh juga terhadap pergerakan monyet, sementara itu lokasi yang menjadi pusat aktifitas wisata juga berdampak terhadap lingkungan seperti sampah dan perilaku pengunjung yang tertarik terhadap monyet dan kemudian  memberikan makanan. Hal ini tentunya akan berpengaruh juga terhadap perilaku ekologi monyet untuk lebih bersifat opportunist untuk mencari makan yang lebih mudah, seperti di tempat sampah atau menunggu dari pengunjung.
Kegiatan wisata alam yang mengesampingkan faktor ekologi, sangat mungkin akan menganggu keseimbangan perilaku dan biologis monyet (Berman et al,2007), pertumbuhan populasi yang cepat, overhabituasi dan hyperagresif bisa menjadi permasalahan serius di waktu mendatang, terlebih lagi habitat juga mengalami perubahan atau bahkan hilang. Meskipun juga tidak dapat di pungkiri hubungan antara primata di obyek wisata juga bisa bersifat komensalism seperti dampak ekonomi (local income dan management income), pendidikan, dan perlindungan populasi. Dasar penelitian yang lengkap terhadap populasi, perilaku dan sebaran kelompok akan sangat penting untuk pengelolaan ataupun pemanfaatan monyet ekor panjang sebagai salah satu potensi atraksi wisata. Aturan yang tegas terhadap pengunjung dan juga peningkatan kapasitas staff yang khusus memonitoring monyet di tempat wisata seperti puncak kelimutu diharapkan dapat mengoptimalkan interaksi antara monyet dan manusia. Konflik juga akan muncul ketika interaksi ini sudah tidak seimbang lagi, seperti potensi penularan penyakit, distorsi fisiologis monyet ketersediaan pakan yang sangat melimpah , pemberian pakan antropogenik dan berkarbohidrat tinggi akan menyebabkan peningkatan atau bahkan penurunan angka kelahiran yang relative berbeda dengan pola normatifnya, ukuran tubuh yang berubah, dan rentang hidup juga mungkin terganggu (Fuentes et al,2007).
Kesimpulan dan Saran
1.         Kesimpulan
Sebaran populasi monyet ekor panjang di Taman Nasional Kelimutu hampir merata di jumpai di habitat ladang yang semuanya berada di perbatasan taman nasional dengan lahan milik penduduk yang berdampak dengan meningkatnya serangan ke lahan penduduk merupakan sebagai akibat tipikal monyet ekor panjang yang sangat toleran dengan keberadaan manusia, selain diduga sebagai karakteristik jenis pakan yang belum bervariasi.
2.         Saran
Intensitas serangan monyet ke lahan penduduk dan monitoring perilaku kelompok monyet di sekitar danau kelimutu adalah perlu dilakukan kajian lebih intensif sebagai dasar pengelolaan monyet ekor panjang yang berinteraksi langsung dengan manusia. Sangat penting juga untuk mengetahui lebih jauh tentang tipikal serangan monyet ke lahan penduduk, pengaruh musiman, pola tanam, pergerakan, ancaman gangguan terhadap populasi monyet, dan ketersediaan pakan dan tempat berlindung di habitat alaminya apakah faktor-faktor ini yang menyebabkan serangan monyet ke lahan penduduk. Antisipasi serangan yang sifatnya jangka pendek dapat dilakukan dengan penjagaan (guarding) dengan memanfaatkan tenaga manusia, alat-alat teknis, ataupun binatang predator monyet seperti anjing. Sementara antisipasi jangka panjang juga mulai mempertimbangkan kondisi habitatnya, ketersediaan pohon pakan dan pohon berlindung harus mulai di identifikasi untuk tujuan pengelolaan habitat selanjutnya.
Berdasarkan perhitungan daya dukung habitat untuk kelompok monyet di kawasan wisata danau kelimutu, masih di bawah batas maksimum, oleh karena itu pemberian pakan seharusnya di pertimbangkan lagi kecuali memang bertujuan khusus untuk peningkatan populasi seperti untuk penangkaran di alam.
Peningkatan kesadaran wisata berwawasan ekologis juga perlu di optimalkan terkait dengan keberadaan monyet di kawasan wisata danau kelimutu.
Pembinaan habitat, seperti penanaman pohon-pohon sumber pakan alami dan cover (pelindung) adalah perlu dilakukan untuk menyediakan habitat yang sesuai bagi monyet.
Daftar Pustaka
Anonim. 2005. Surat Edaran Kepala Biro Kepegawaian No: SE.02/Peg-4/2005 tanggal 28 Nopember 2005 perihal Pedoman Penyusunan dan Penilaian Karya Tulis/ Karya Ilmiah Pejabat Fungsional di Departemen Kehutanan, Sekretariat Jenderal Departemen Kehutanan. Jakarta.
Anonim, 2007, Laporan Akhir Study Komunitas Flora dan Fauna Taman Nasional Kelimutu, Balai Taman Nasional Kelimutu,Dit-Jen PHKA, Departemen Kehutanan bekerjasama dengan Pusat Penelitian Biologi,LIPI- Bogor, Ende, Flores, NTT
Berman,C. M,.  Jinhua Li,  Hideshi Ogawa, Consuel Ionica , Huabao Yin, 2007, Primate Tourism, Range Restriction, and Infant Risk Among Macaca thibetana at Mt. Huangshan, China, International  Journal of Primatology (28):1123–1141
Eudey, A,A.2008.The Crab-eating Macaque (Macaca fascicularis): Widespread and Rapidly Declining, Primate Conservation (23) : 129–132
Fuentes. A, Eric Shaw , John Cortes, 2007, Qualitative Assessment of Macaque Tourist Sites in Padangtegal, Bali, Indonesia, and the Upper Rock Nature Reserve, Gibraltar, International Journal of Primatology (28):1143–1158
Fooden J. 1995. FIELDIANA. Zoology. New Series No. 81. Systematic Review of Southeast Asian Longtail Macaques, Macaca fascicularis (Raffles, [1821]). Published by Field Museum of Natural History. USALesson C, Kyes RC., Iskandar E. 2004. Estimating population density of Longtailed macaques (Macaca fascicularis) on Tinjil Island, Indonesia, using the line transect sampling method. Jurnal Primatologi Indonesia 4(1):7-14
Marchal. V, and Catherine Hill.2009. Primate Crop-raiding: A Study of Local Perceptions in Four Villages in North Sumatra, Indonesia, Primate Conservation (24)
NRC. 1981. Techniques for The Study of Primate Population Ecology. Subcomitee on Conservation of natural populations Committee on Nonhuman primates Division of Biological Sciences Assembly of Life Science National Research Council. National  Academy Press. Washington D.C.
Ong, P. & Richardson, M, .2008. Macaca fascicularis. In: IUCN 2009. IUCN Red List of Threatened Species. Version 2009.2. <www.iucnredlist.org>. Downloaded on 22 February 2010.
Stanier,P.L.1999. A Comparison of two different population density estimation techniques carried out on the Buton Macaque (Macaca ochreata brunnescens) and a comparison of population estimates in undisturbed primary forest and secondary forest near village areas. Primate Report, Operation Wallaceae, http://www.opwall.com/Library/Indonesia/primates.shtml
Schilaci,M.A, Gregory A. Engel, Agustin Fuentes, Aida Rompis, Arta Putra, I. Nengah Wandia, James A. Bailey, B. G. Brogdon and Lisa Jones-Engel,.2010.The Not-So-Sacred Monkeys of Bali: A Radiographic Study of Human-Primate Commensalism, in Indonesian Primates Developments in Primatology: Progress and Prospects. Springer New York.(pp:  249-256)
Sutherland, W. J. (2002) Mammals. In: Sutherland WJ (ed) Ecological censusing techniques. Cambridge University Press, Cambridge, pp 260–278
Supriatna, J. dan E. H. Wahyono. 2000. Panduan Lapangan Primata Indonesia. Yayasan Obor, Indonesia.
Setiawan.A,T.S. Nugroho, Djuwantoko, S.Pudyatmoko, 2009, A Survey of Miller’s Grizzled Surili, Presbytis hosei canicrus, in East Kalimantan, Indonesia, Primate Conservation (24)
Wheatley, B.P.1999. The sacred monkeys of Bali. Waveland Press, Illinois

2 comments:

Indomuze said...

Met siang Mas Ridwan.

Saya tertarik dengan penelitian ini. Apakah ada bukti warga mencoba tangkap monyet untuk dijual? misal untuk topeng monyet, perdagangan satwa liar, atau untuk penelitian?

Terima kasih

Monique

ridwan kehutanan said...

Terimakasih atas perhatian anda.. Untuk kasus di kawasan tn kelimutu dan sekitarnya tidak dijumpai adanya perburuan untuk diperdagangkan atau atraksi topeng monyet. Selama ini yg masih dijumpai monyet ekor panjang masih dianggap hama oleh sebagian masyarakat sekitar tn kelimutu yg masy lakukan masih sebatas menghalau utk tdk masuk ke kebun/ladang. Terimakasih.