Taman
Nasional Kelimutu di Pulau Flores adalah salah satu sebaran terkini monyet ekor
panjang di wilayah Sunda Kecil yang meliputi Pulau Bali, Lombok, Nusa Tenggara
Barat dan Nusa Tenggara Timur. Keberadaan monyet ekor panjang disekitar kawasan
TN Kelimutu memiliki dampak yang negative karena aktifitasnya yang cenderung
destruktif terhadap keberadaan lahan pertanian/ ladang masyarakat yang
berbatasan disekitar kawasan hutan TN Kelimutu.
Menurut Foden (1995), laut di kawasan Sunda Kecil dan pulau-pulau sekitarnya pada 18.000 tahun silam surut lebih dari 120 meter di banding sekarang, dan saat itulah dimungkinkan monyet-monyet itu bermigrasi dari dataran Sunda (Jawa, Sumatera, dan Kalimantan). Sangat minim mengenai data-data hasil penelitian monyet ekor panjang di wilayah ini, laporan kegiatan penelitian di Taman Nasional Kelimutu terkait dengan monyet ekor panjang dapat di jumpai di zona pemanfaatan dan zona rimba dan masyarakat menyebut primata ini Ro’a (Anonim, 2007).
Menurut Foden (1995), laut di kawasan Sunda Kecil dan pulau-pulau sekitarnya pada 18.000 tahun silam surut lebih dari 120 meter di banding sekarang, dan saat itulah dimungkinkan monyet-monyet itu bermigrasi dari dataran Sunda (Jawa, Sumatera, dan Kalimantan). Sangat minim mengenai data-data hasil penelitian monyet ekor panjang di wilayah ini, laporan kegiatan penelitian di Taman Nasional Kelimutu terkait dengan monyet ekor panjang dapat di jumpai di zona pemanfaatan dan zona rimba dan masyarakat menyebut primata ini Ro’a (Anonim, 2007).
Tinjauan Pustaka
1.
Deskripsi Monyet Ekor Panjang
Macaca fascicularis (Raffles,
1821), secara umum juga dikenal dengan nama monyet ekor panjang, adalah species
yang tersebar luas wilayah tropis Asia tenggara (Eudey,2008). Primata ini
termasuk kategori monyet dunia lama (old world monkeys) dalam family Cercopithecidae. Monyet ekor panjang di
kategorikan lagi dalam subfamily Cercopithecinae
yang terkait dengan adaptasi makanannya.
Primata dalam subfamily ini mempunyai gigi geraham yang rendah, mempunyai
kantung pipi untuk menyimpan makanan dalam jangka waktu yang singkat, dan buah-buahan
adalah sebagian makanannya (Rowe,1996).
Secara
morphology, monyet ekor panjang mempunyai warna bervariasi dari abu-abu hingga
coklat kemerah-merahan, dengan bulu yang lebih terang pada bagian ventral.
Panjang tubuh berkisar antara 385 -648 mm, panjang ekor berkisar antara 400-655
mm. Berat tubuh jantan dewasa antara 4,7-8,3 kg, sementara betina berkisar
antara 2,5 – 5,7 kg. Betina dewasa mempunyai masa kehamilan selama 153 – 179
hari. Umur dapat mencapai 37,1 tahun. Kematangan seksual rata-rata pada umur
51,6 bulan (betina) dan (jantan) 50,4 bulan. Anak/Bayi yang baru lahir
mempunyai rambut yang berwarna kehitaman. Hidup pada hutan primer dan sekunder
mulai dataran rendah sampai dataran tinggi hingga ketinggian 2000 meter diatas
permukaan laut, hidup di daerah pantai, mangrove, tepi-tepi sungai juga bahkan
di tebing-tebing batu karang (Setiawan et al,2008). Monyet ini sangat toleran
dengan manusia dan biasanya ditemukan di dekat perkampungan atau ladang,
sehingga sering menjadi hama (crop raider)
makan sebagian besar buah (64%), biji-bijian, daun, serangga, kepiting atau
jenis moluska lainnya, memiliki pergerakan dengan keempat alat geraknya (quadrapedal). Monyet ekor panjang hidup
berkelompok yang mempunyai struktur sosial Multimale-Multifemale,
dengan rasion 2,5 betina untuk 1 jantan dalam rata-rata kelompok, ukuran
kelompok antara 10-48 individu, hingga mencapai ratusan, tingkat sosial juga
jelas nampak dalam satu kelompok, jantan dominan biasanya memimpin kelompok
ini, memiliki daerah jelajah 25-200 ha, dengan jelajah harian berkisar 150-
1500 km, (Supriatna dan Wahyono, 2010; Rowe, 1999).
2.
Migrasi/ penyebaran monyet ekor panjang
Monyet ekor panjang mulai
bermigrasi ke wilayah kepulauan Indonesia dari daratan Asia kurang lebih 18 000
ribu tahun yang silam, ketika permukaan laut lebih rendah 120 meter dibanding
sekarang (Fooden,1995). Macaca
fascicularis mempunyai 10 subjenis yang tersebar di seluruh Asia, terutama
asia tenggara. Macaca fascicularis
fascularis adalah subjenis yang terdapat di Brunei, Cambodia, Indonesia (
Sumatera, Jawa, Kalimantan, Bali, Lombok, Sumbawa, Flores, Sumba hingga Pulau
Timor), Malaysia, Filipina, Singapore, Thailand
Selatan and Viet Nam bagian
selatan (Groves 2001).
Rumusan
dan Analisa Masalah
1.
Kemelimpahan Monyet Ekor Panjang di Kawasan TN Kelimutu
Sampai sekarang monyet ekor panjang
juga masih terus bertahan hidup dan berkembang di Pulau Flores termasuk di
kawasan konservasi Taman Nasional Kelimutu. Belum ada dokumen ilmiah terkait
dengan status monyet ekor panjang di kawasan Sunda Kecil khususnya di kawasan konservasi
yang terkenal dengan danau tiga warnanya ini. Kondisi terkini di kawasan wisata
danau Kelimutu monyet ini sering terlihat mencari makanan sisa pengunjung di
tempat sampah, potensi sebagai salah satu tambahan atraksi wisata juga di
lakukan dengan membuat feeding ground
sebagai tempat untuk memberi makan monyet. Sebagai mana di banyak tempat di
Indonesia monyet ini memang berkontribusi dalam pengembangan wisata (Soma et
al,2009). Namun terlepas dari potensi positifnya, monyet ekor panjang di lokasi
wisata juga mempunyai potensi permasalahan, konflik manusia dan primata,
agresifitas, perubahan perilaku dan potensi zoonosis (penularan penyakit dari
manusia ke hewan dan sebaliknya). Untuk mengidentifikasi sebaran populasi
monyet ekor panjang di Kawasan Taman Nasional Kelimutu, dan sekitarnya pihak
Balai Taman Nasional Kelimutu telah melakukan sebuah kajian dengan judul
identifikasi persebaran kera ekor panjang (Macaca
fascicularis) yang dilaksanakan pada bulan Agustus tahun 2010. Kajian tersebut
dimaksudkan untuk dasar pengelolaan dalam konservasi monyet ekor panjang di baik
di dalam kawasan maupun diluar/ sekitar kawasan Taman Nasional Kelimutu serta
adanya sebuah dokumen ilmiah yang bermanfaat untuk pengembangan ilmu
pengetahuan dan konservasi primata di kawasan sunda kecil, khususnya flores dan
sekitarnya.
Berdasarkan survey yang dilakukan,
jalur yang telah dilalui selama pelaksanaan penelitian ini adalah ± 67,7 km, dengan perjumpaan sebanyak 15 kelompok
(lihat tabel.1) dengan demikian nilai encounter rate nya adalah 0,22
kelompok, apabila rata-rata jumlah
individu tiap kelompok adalah 22,66 individu ( range 5- 50 individu) maka
kurang lebih 5 individu dapat di jumpai setiap kilometer-nya.
2.
Monyet ekor panjang di “mata” masyarakat sekitar kawasan TN Kelimutu
Masyarakat sekitar kawasan
konservasi TN Kelimutu sangat familiar sekali dengan keberadaan monyet ekor
panjang. Keberadaan monyet ekor panjang yang bisa dijumpai disekeliling kawasan
TN Kelimutu membuat satwa liar jenis ini sangat dekat dengan masyarakat.
Bahkan, di daerah yang jauh dengan kawasan taman nasional pun masih sering
dijumpai adanya monyet ekor panjang. Akantetapi kedekatan antara satwa ini
dengan masyarakat cenderung berdampak negative. Dimana, satwa monyet ekor
panjang ditemui menjadi hama petani khususnya petani ladang yang berada
diperbatasan-perbatasan kawasan TN Kelimutu. Sifat agresif dan sangat
tolerannya jenis satwa monyet ekor panjang ini sehingga satwa ini mampu
beradaptasi dengan adanya keberadaan manusia. Tidak jarang ditemui di sepanjang
perbatasan adanya kelompok monyet ekor panjang baik mencari makan maupun sedang
beraktifitas yang lain. Hal ini seperti dikemukan oleh Supriatna dan Wahyono (2010)
serta Rowe (1999) bahwa tipikal jenis monyet ini yang sangat menyukai habitat
yang berdekatan dengan manusia. Solusi yang bisa diambil dalam mengurangi
dampak pengrusakan akibat masuknya satwa monyet ekor panjang ke dalam lahan
pertanian diantaranya menggunakan cara-cara sebagai berikut:
a. Menyediakan
pakan alami dengan cara menanam tanaman yang disukai monyet (jambu biji,
nangka, jenis Ficus sp.) disepanjang
batas lahan pertanian masyarakat.
b. Memberlakukan
penanaman tanaman pertanian dengan metode zoning (pembagian kelompok tanaman
berdasarkan jenis tanaman).
Ketersediaan pakan yang bervariasi berdasar
musim akan berpengaruh juga terhadap pergerakan monyet,
sementara itu lokasi yang menjadi pusat aktifitas wisata juga berdampak
terhadap lingkungan seperti sampah dan perilaku pengunjung yang tertarik terhadap
monyet dan kemudian memberikan makanan. Hal
ini tentunya akan berpengaruh juga terhadap perilaku ekologi monyet untuk lebih
bersifat opportunist untuk mencari makan yang lebih mudah, seperti di tempat
sampah atau menunggu dari pengunjung.
Kegiatan wisata alam yang
mengesampingkan faktor ekologi, sangat mungkin akan menganggu keseimbangan
perilaku dan biologis monyet (Berman et al,2007), pertumbuhan populasi yang
cepat, overhabituasi dan hyperagresif bisa menjadi permasalahan serius di waktu
mendatang, terlebih lagi habitat juga mengalami perubahan atau bahkan hilang.
Meskipun juga tidak dapat di pungkiri hubungan antara primata di obyek wisata
juga bisa bersifat komensalism seperti dampak ekonomi (local income dan
management income), pendidikan, dan perlindungan populasi. Dasar penelitian
yang lengkap terhadap populasi, perilaku dan sebaran kelompok akan sangat
penting untuk pengelolaan ataupun pemanfaatan monyet ekor panjang sebagai salah
satu potensi atraksi wisata. Aturan yang tegas terhadap pengunjung dan juga
peningkatan kapasitas staff yang khusus memonitoring monyet di tempat wisata
seperti puncak kelimutu diharapkan dapat mengoptimalkan interaksi antara monyet
dan manusia. Konflik juga akan muncul ketika interaksi ini sudah tidak seimbang
lagi, seperti potensi penularan penyakit, distorsi fisiologis monyet ketersediaan
pakan yang sangat melimpah , pemberian pakan antropogenik dan berkarbohidrat
tinggi akan menyebabkan peningkatan atau bahkan penurunan angka kelahiran yang
relative berbeda dengan pola normatifnya, ukuran tubuh yang berubah, dan
rentang hidup juga mungkin terganggu (Fuentes et al,2007).
Kesimpulan
dan Saran
1.
Kesimpulan
Sebaran
populasi monyet ekor panjang di Taman Nasional Kelimutu hampir merata di jumpai
di habitat ladang yang semuanya berada di perbatasan taman nasional dengan
lahan milik penduduk yang berdampak dengan meningkatnya serangan ke lahan
penduduk merupakan sebagai akibat tipikal monyet ekor panjang yang sangat
toleran dengan keberadaan manusia, selain diduga sebagai karakteristik jenis
pakan yang belum bervariasi.
2.
Saran
Intensitas
serangan monyet ke lahan penduduk dan monitoring perilaku kelompok monyet di
sekitar danau kelimutu adalah perlu dilakukan kajian lebih intensif sebagai dasar
pengelolaan monyet ekor panjang yang berinteraksi langsung dengan manusia. Sangat
penting juga untuk mengetahui lebih jauh tentang tipikal serangan monyet ke
lahan penduduk, pengaruh musiman, pola tanam, pergerakan, ancaman gangguan
terhadap populasi monyet, dan ketersediaan pakan dan tempat berlindung di
habitat alaminya apakah faktor-faktor ini yang menyebabkan serangan monyet ke
lahan penduduk. Antisipasi serangan yang sifatnya jangka pendek dapat dilakukan
dengan penjagaan (guarding) dengan memanfaatkan tenaga manusia, alat-alat
teknis, ataupun binatang predator monyet seperti anjing. Sementara antisipasi
jangka panjang juga mulai mempertimbangkan kondisi habitatnya, ketersediaan
pohon pakan dan pohon berlindung harus mulai di identifikasi untuk tujuan
pengelolaan habitat selanjutnya.
Berdasarkan
perhitungan daya dukung habitat untuk kelompok monyet di kawasan wisata danau
kelimutu, masih di bawah batas maksimum, oleh karena itu pemberian pakan
seharusnya di pertimbangkan lagi kecuali memang bertujuan khusus untuk
peningkatan populasi seperti untuk penangkaran di alam.
Peningkatan
kesadaran wisata berwawasan ekologis juga perlu di optimalkan terkait dengan
keberadaan monyet di kawasan wisata danau kelimutu.
Pembinaan habitat, seperti penanaman
pohon-pohon sumber pakan alami dan cover
(pelindung) adalah perlu dilakukan untuk menyediakan habitat yang sesuai bagi
monyet.
Daftar
Pustaka
Anonim. 2005. Surat Edaran Kepala
Biro Kepegawaian No: SE.02/Peg-4/2005 tanggal 28 Nopember 2005 perihal Pedoman
Penyusunan dan Penilaian Karya Tulis/ Karya Ilmiah Pejabat Fungsional di
Departemen Kehutanan, Sekretariat Jenderal Departemen Kehutanan. Jakarta.
Anonim, 2007, Laporan Akhir Study
Komunitas Flora dan Fauna Taman Nasional Kelimutu, Balai Taman Nasional
Kelimutu,Dit-Jen PHKA, Departemen Kehutanan bekerjasama dengan Pusat Penelitian
Biologi,LIPI- Bogor, Ende, Flores, NTT
Berman,C. M,. Jinhua Li,
Hideshi Ogawa, Consuel Ionica , Huabao Yin, 2007, Primate Tourism, Range
Restriction, and Infant Risk Among Macaca thibetana at Mt. Huangshan, China,
International Journal of Primatology
(28):1123–1141
Eudey, A,A.2008.The Crab-eating Macaque (Macaca fascicularis):
Widespread and Rapidly Declining, Primate Conservation (23)
: 129–132
Fuentes. A, Eric Shaw
, John Cortes, 2007, Qualitative Assessment of Macaque Tourist Sites in
Padangtegal, Bali, Indonesia, and the Upper Rock Nature Reserve, Gibraltar,
International Journal of Primatology (28):1143–1158
Fooden
J. 1995. FIELDIANA. Zoology. New Series No. 81. Systematic Review of
Southeast Asian Longtail Macaques, Macaca fascicularis (Raffles,
[1821]). Published by Field Museum of Natural History. USALesson C, Kyes RC., Iskandar E. 2004. Estimating
population density of Longtailed macaques (Macaca
fascicularis) on Tinjil
Island, Indonesia, using the line transect sampling method. Jurnal Primatologi Indonesia 4(1):7-14
Marchal.
V, and Catherine Hill.2009. Primate Crop-raiding: A Study of Local Perceptions
in Four Villages in North Sumatra, Indonesia, Primate Conservation (24)
NRC. 1981. Techniques for The Study
of Primate Population Ecology. Subcomitee on Conservation of natural
populations Committee on Nonhuman primates Division of Biological Sciences
Assembly of Life Science National Research Council. National Academy Press. Washington D.C.
Ong, P. & Richardson, M, .2008.
Macaca fascicularis. In: IUCN 2009. IUCN Red List of Threatened Species.
Version 2009.2. <www.iucnredlist.org>.
Downloaded on 22 February 2010.
Stanier,P.L.1999.
A Comparison of two different population density estimation techniques carried
out on the Buton Macaque (Macaca ochreata brunnescens) and a comparison
of population estimates in undisturbed primary forest and secondary forest near
village areas. Primate Report, Operation Wallaceae, http://www.opwall.com/Library/Indonesia/primates.shtml
Schilaci,M.A,
Gregory A. Engel, Agustin Fuentes, Aida Rompis,
Arta Putra, I. Nengah Wandia, James A. Bailey,
B. G. Brogdon and Lisa Jones-Engel,.2010.The
Not-So-Sacred Monkeys of Bali: A Radiographic Study of Human-Primate
Commensalism, in Indonesian Primates Developments in
Primatology: Progress and Prospects. Springer New York.(pp: 249-256)
Sutherland, W. J. (2002) Mammals. In:
Sutherland WJ (ed) Ecological censusing techniques. Cambridge University Press,
Cambridge, pp 260–278
Supriatna, J. dan E. H. Wahyono. 2000. Panduan
Lapangan Primata Indonesia. Yayasan Obor, Indonesia.
Setiawan.A,T.S.
Nugroho, Djuwantoko, S.Pudyatmoko, 2009, A Survey of Miller’s
Grizzled Surili, Presbytis hosei canicrus, in East Kalimantan, Indonesia, Primate
Conservation (24)
Wheatley, B.P.1999. The sacred monkeys of
Bali. Waveland Press, Illinois
2 comments:
Met siang Mas Ridwan.
Saya tertarik dengan penelitian ini. Apakah ada bukti warga mencoba tangkap monyet untuk dijual? misal untuk topeng monyet, perdagangan satwa liar, atau untuk penelitian?
Terima kasih
Monique
Terimakasih atas perhatian anda.. Untuk kasus di kawasan tn kelimutu dan sekitarnya tidak dijumpai adanya perburuan untuk diperdagangkan atau atraksi topeng monyet. Selama ini yg masih dijumpai monyet ekor panjang masih dianggap hama oleh sebagian masyarakat sekitar tn kelimutu yg masy lakukan masih sebatas menghalau utk tdk masuk ke kebun/ladang. Terimakasih.
Post a Comment