16 February 2015

Kekayaan Budaya Masyarakat Adat Lio di Desa Penyangga TN Kelimutu

Mengutip laporan Kajian Perilaku Adat Kegiatan Bercocok Tanam Masyarakat Lio di Daerah Sekitar Kawasan Taman Nasional Kelimutu bahwa Tanah pertanian dimiliki secara komunal oleh keluarga patrilineal (garis keturunan ayah). Pada masa lalu, pelapisan sosial terbagi atas tiga kelompok hirarkis. Kelompok pertama adalah mosalaki/ riabewa (pemangku adat), kelompok kedua adalah faiwalu/ anahalo (orang biasa/orang kebanyakan). Kelompok ketiga adalah ataho’o rowa (para hamba dan budak). Pelapisan sosial mempunyai kaitan yang tak bisa dipisahkan dengan masalah kepemilikan tanah.
Jadi secara hukum adat masyarakat Lio, mosalaki/riabewa adalah pemilik tanah, sementara itu para faiwalu/ anahalo adalah sekedar penggarap tanah. Masyarakat Lio mengalami persentuhan yang luas dan intensif dengan dunia luar baru pada awal abad ke-20.
Peran mosalaki sebagai pemangku adat mempunyai peran yang sangat penting dalam system kehidupan bermasyarakat suku Adat Lio. Struktur dan fungsi tokoh pemangku adat perlu diketahui secara mendalam untuk dapat menjadikan peran pemangku adat menjadi bersinergi dengan pembangunan masyarakat itu sendiri, khususnya masyarakat sekitar kawasan hutan konservasi Taman Nasional Kelimutu. Resort sebagai bagian pengelola ditingkat paling dekat dengan masyarakat mempunyai peran terhadap collecting data baik dari sisi keanekaragaman hayati maupun sosial ekonomi dan juga budaya masyarakat yang berada disekitar kawasan TN Kelimutu.
Melalui monitoring dan pengawasan RBM (resort based management) ini dilakukan pengumpulan data terkait dengan budaya masyarakat desa penyangga. Secara khusus, difokuskan pada komunitas adat yang berada di desa penyangga. Penggalian informasi ditekankan pada keberadaan struktur organisasi, fungsi komunitas adat dan atraksi budaya yang menarik untuk wisatawan. Dengan mengetahui struktur organisasi, atraksi budaya (ritual adat) dan fungsi komunitas adat diharapkan dapat mendukung program-program pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh Balai TN Kelimutu. Melalui kegiatan ini diharapkan mampu mengetahui struktur organisasi, fungsi dan peran masing-masing penyusun struktur komunitas adat desa penyangga.

1.    Mengetahui atraksi budaya komunitas adat desa penyangga.
2.    Membuat alternative pengembangan dalam pengelolaan masyarakat desa penyangga melalui keberadaan struktur komunitas adat desa penyangga.

B.    Metode Collecting Data
Analisa yang dilakukan bersifat kualitatif dengan menggunakan teknik pengumpulan data lapangan melalui wawancara mendalam (depth interview), dan pengamatan (observasi). Wawancara mendalam dilakukan terhadap para informan yang dianggap mengetahui permasalahan, seperti tokoh masyarakat, ulama, tokoh adat (mosalaki), pemimpin formal maupun nonformal. Khususnya informan yang dianggap mengetahui kebudayaan masyarakat setempat, khususnya yang berkaitan dengan adat istiadat atau kebudayaan masyarakat Lio.  Sebagai pelengkap data, dilakukan juga studi kepustakaan (library research), yakni mencari buku buku acuan atau literatur yang berkaitan dengan tema penelitian.

C.    Pembahasan
Pengumpulan data sosial budaya yang telah dilakukan difokuskan pada komunitas-komunitas adat yang berada didesa penyangga disekitar kawasan TN Kelimutu. Berdasarkan hasil pendataan dilapangan sedikitnya diketahui 28 komunitas adat yang berada di sekitar kawasan TN Kelimutu dan menjadi desa-desa penyangga. Secara umum berdasarkan wawancara yang telah dilakukan terhadap responden yang sebagian besar merupakan tokoh adat, komunitas adat tersebut mempunyai keterkaitan yang erat secara adat istiadat maupun ritual adat dengan keberadaan Danau Kelimutu yang berada di kawasan TN Kelimutu.
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan terhadap 28 komunitas adat, struktur komunitas adat di desa sekitar kawasan TN Kelimutu dipimpin oleh seorang mosalaki. Mosalaki menurut pengertian awalnya adalah ruh. Ruh yang tidak dapat dilihat dengan kasat mata. Sedangkan Mosalaki yang disebut sekarang oleh masyarakat adat pada umumnya adalah orang (Ata Laki). Ata Laki (orang) menjalankan tugas yang ditugaskan oleh Mosalaki (ruh). Dalam struktur komunitas adat mosalaki pu’u merupakan pemimpin tertinggi dalam satu komunitas adat. Mosalaki pu’u sebagai pemilik ulayat atas tanah yang ditempati oleh masyarakatnya yang disebut Ana Kalo Fai Walo.
Wawancara yang dilakukan kepada tokoh adat maupun masyarakat yang mengetahui tentang komunitas adat didapatkan, bahwa secara garis besar sistem komunitas adat masih berjalan dengan baik. Pelaksanaan ritual adatpun sudah berjalan secara rutin setiap tahun, meskipun di beberapa komunitas adat seperti komunitas adat Tenda di wilayah resort Wolojita dan komunitas adat Nduaria di wilayah resort Kelimutu yang tidak berjalan yang disebabkan karena masih adanya masalah internal komunitas adat.
Seperti dikutip dalam Anonim (2009) Pelapisan sosial/ stratifikasi sosial pada masyarakat Lio terdiri dari lapisan para tetua adat atau dewan musalaki ria yang disebut ine ame (ibu bapak). Kemudian ada musalaki loo atau keluarga kaum fungsionaris seperti halnya riabewa (pembantu musalaki). Setiap keluarga yang berjasa dalam menjaga, mempertahankan, serta memperluas tanah persekutuan masuk dalam kalangan musalaki (disebut boge hage yang terdiri dari boge ria, boge loo, hage ria, hage loo). Pembagian tersebut berdasarkan pada besar kecilnya jasa, yang mempengaruhi juga pada besar kecilnya wilayah tanah persekutuan. Jadi fungsi pembagian ini berjenjang turun semakin kecil, hal ini sebagai pengakuan jasa-jasa terhadap tanah persekutuan, tidak ada satu jasapun dari nenek moyang yang dilupakan dan diabaikan. Hal ini juga berpengaruh terhadap pembagian daging hewan yang disembelih, mereka akan mendapatkan bagian yang sesuai dengan status sosial mereka, apabila terjadi ketidaksesuaian dalam pembagian akan menimbulkan ketegangan, dan ini akan mendapatkan sanksi adat berupa denda yang cukup berat. Struktur adat yang berada di desa-desa yang terdapat komunitas adatnya mempunyai perbedaan satu sama lain. Hal ini menunjukkan bahwa komunitas adat yang terbentuk disesuaikan dengan kebutuhan komunitas adat dalam menyelenggarakan upacara/ ritual adat. Dan setiap komunitas adat mempunyai upacara adat yang berbeda baik dari sisi waktu maupun personil masyarakat ada yang mendukung upacara adat tersebut.
Seiring dengan ditetapkannya Ende dengan Danau Kelimutunya sebagai salah satu dari 16 Kawasan Strategi Pariwisata Nasional (KSPN) oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif menunjukkan bahwa Danau Kelimutu mendapat perhatian serius sebagai obyek tujuan wisata tidak hanya skala nasional bahkan internasional. Dikutip dalam Harian Tempo 22 Oktober 2012 Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif akan mengarahkan investasi ditujukan untuk kawasan pariwisata strategis nasional, karena untuk mendukung peningkatan kualitas wisatawan dan hal ini akan berdampak positif dengan meningkatnya daya tarik pariwisata pada akhirnya akan meningkatkan lama tinggal dan jumlah uang yang dibelanjakan.
Dalam Komunitas Adat Lio dilakukan juga acara-acara adat (Nggua) yang menarik untuk dijadikan objek wisata. Pelaksanaan acara adat setiap komunitas memiliki waktu yang berbeda-beda setiap tahunnya. Berdasarkan penelusuran yang dilakukan setidaknya masih terdapat 26 komunitas adat yang masih melaksanakan upacara adat setiap tahunnya. Wisatawan dapat menikmati atraksi budaya masyarakat Adat Lio dalam bulan-bulan tertentu yang diselenggarakan oleh komunitas adat. Berdasarkan gambar 2.1. diketahui bahwa pelaksanaan upacara adat yang dilakukan secara rutin terbanyak di Bulan April. Upacara adat bulan ini merupakan upacara adat yang berkaitan dengan dimulainya musim panen perkebunan, seperti palawija dan sayur-sayuran. Upacara adat ini merupakan ungkapan syukur pada nenek moyang dengan memberi makan (sesajen) pada nenek leluhur karena sudah memberikan hasil yang baik. Sedangkan pelaksanaan upacara adat terbanyak berikutnya yaitu bulan september. Bulan september merupakan musim tanam, meskipun dikomunitas adat yang lain upacara adat ini rangkaiannya sudah dilaksanakan mulai Bulan Agustus.
Selain upacara adat yang rutin dilaksanakan setiap tahun dengan bulan-bulan yang sama di Komunitas Adat Lio juga mempunyai upacara adat yang sifatnya tentatif. Upacara adat seperti ini dilaksanakan pada waktu-waktu tertentu seperti upacara adat mengusir hama tanaman, pembangunan rumah adat, aktifitas pembangunan yang dilaksanakan pemerintah (membuat jalan, gedung sekolahan, fasilitas umum dan lain-lain).
Selama upacara adat tersebut masyarakat yang termasuk dalam komunitas adat tersebut maupun pihak lain yang terlibat didalamnya tidak boleh melaksanakan aktivitas lain pada waktu tertentu (pire). Waktu pelaksanaan pire ini diumumkan oleh mosalaki ria bewa. Apabila ada yang melanggar akan dikenai denda sesuai pelanggaran yang dilakukan dengan ketentuan adat yang berlaku disetiap komunitas adat.
Dalam rumah Adat Lio terdapat seni ukir yang menarik dan mempunyai pesan khusus. Masyarakat Lio mempunyai kepercayaan apabila pembuatan ukiran dikerjakan oleh orang dari keturunan yang tepat, maka hasil ukiran tersebut akan mempunyai kekuatan gaib. Adapun kayu yang dipakai antara lain jenis kayu nangka, kayu wowo, kayu wala, kayu keta, kayu wege, kayu najubalu, kayu keli dan lain-lain. Setiap jenis kayu mempunyai unsur atau makna tersendiri, demikian pula dengan motif atau bentuk ukiran. Seperti dikutip dalam laporan Kajian Perilaku Adat Kegiatan Bercocok Tanam Masyarakat Lio adapun “ukiran biasanya terdapat di rumah adat, sedangkan bagian yang diukir yakni lata mbewa, toko pene, dube dalo, wisu tenda, wisu dari, sabhe tenda, benga toko kaju ndawa. Sementara itu motif atau bentuk ukiran antara lain jara, susu, nggo, nipa, degi, teka/ naga, dan binatang melata lainnya serta ukiran timbul dengan motif seperti bahan tenun ikat. Anadeo yaitu patung adat dengan posisi berdiri, tangan ke depan, telapak tangan terbuka ke atas. Bentuk anadeo baik laki-laki maupun perempuan, dalam kondisi telanjang. Mengukir anadeo biasanya dilakukan secara sembunyi di tempat yang tersembunyi, karena kondisi pengukirnya juga telanjang, sebagai figure ukiran biasanya laki-laki atau perempuan dari keluarga musalaki.”
Dalam laporan Kajian Perilaku Adat Kegiatan Bercocok Tanam Masyarakat Lio juga diuraikan bahwa “Keda, hampir semua rangka kayu bangunan keda (rumah adat) dilengkapi dengan ukiran berbentuk binatang reptil, dan binatang lainnya yang dianggap sakral. Tubu saga, tempat yang dianggap sakral atau ola tei (ilham ditanam dengan kayu wege yang berbentuk bulat dengan ukiran ular/reptil, sebanyak tiga batang dengan ukuran panjang, sedang, pendek, sebagai tempat sesajian/pa’iloka). Bhaku, bangunan rumah kecil di sekitar tubu kanga sebagai tempat penyimpanan peti batu (sarkofagus) yang berisi tulang belulang/mayat dari leluhur, tokoh pejuang. Bhaku ditopang oleh empat tiang, dengan ukiran binatang melata dan bagian depan berbentuk lata mbewa, serta atapnya dari nao (ijuk) atau ki (ilalang). Sao bapu adalah rumah kecil dengan satu tiang, terbuat dari kayu nangka dengan ukiran nipa (ular) serta binatang reptil lainnya. Bangunan ini dilengkapi dengan tangga, atapnya dari ijuk atau ilalang. Sao bapu biasanya dipergunakan sebagai tempat sesajian untuk para leluhur”.
Kebutuhan kayu adat tidak bisa dilepaskan dari masyarakat Komunitas Adat Lio. Rumah Adat Lio yang dicirikan dengan bentuk panggung dan beratap alang-alang mempunyai peran penting dalam penyelenggaraan aktifitas adat. Penyusun bangunan rumah adat yang terdiri dari kayu-kayu adat perlu dipikirkan secara serius untuk keberlangsungan adat, karena selama ini kebutuhan kayu dari Komunitas Adat Lio masih menggantungkan dari kawasan hutan. Dibeberapa Komunitas Adat Lio belum bisa membangun rumah adat yang utama (Keda) karena terkendala kayu yang menurut kepercayaan masyarakat adat kayu digunakan harus berasal dari dalam kawasan (Komunitas Adat Wologeru di Desa Wiwipemo).

D.    Penutup
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan diantaranya adalah pertama, jumlah komunitas adat yang berada disekitar kawasan TN Kelimutu yang berhasil dihimpun informasinya sebanyak 28 komunitas adat dengan struktur dan fungsi komunitas adat di setiap komunitas adat berbeda satu dengan yang lainnya. Kedua, upacara adat diselenggarakan rutin setiap tahun dengan bulan penyelenggaraan terbanyak berada di Bulan September. Ketiga, Kebutuhan kayu adat sebagai bahan dalam pembuatan rumah adat menjadi salah satu kebutuhan utama dalam menjaga kelestarian budaya.

E.    Daftar Acuan
Balai TN Kelimutu. 2009. Laporan Kajian Perilaku Adat Kegiatan Bercocok Tanam Masyarakat Lio di Daerah Sekitar Kawasan Taman Nasional Kelimutu. Ditjen PHKA. Ende – Flores, NTT.

http://www.tempo.co/read/news/2012/10/22/203437203/16-Prioritas-Kawasan-Strategis-Wisata.