28 August 2012

Nilai Ekonomi Taman Nasional Kelimutu sebagai Penyimpan Karbon (Studi Pendekatan Karakteristik Kawasan)

       Rusaknya hutan di Indonesia disinyalir masih besarnya paradigma bahwa hutan hanya bisa dinilai secara ekonomi dari hasil kayunya (timber oriented). Hutan masih sekedar dilihat dari sudut nilai tangible berupa produk yang bisa dijual secara langsung seperti kayu bulat untuk kayu lapis, bahan baku kertas (pulp) atau perabot rumah yang diekspor.
Selain itu, masih kuatnya mindset bahwa hutan sebagai penghasil devisa negara yang bisa diperbaharui (renewable) semakin memicu tingginya deforestasi yang ada di Indonesia. Padahal hutan juga penghasil intangible produk yang apabila dihitung, nilai ekonomi dan ekologisnya jauh lebih tinggi dari nilai ekonomis kayu. Nilai intangible hutan antara lain sebagai pencegah banjir di musim hujan dan penyimpan air dimusim kemarau (tata air). Hutan juga merupakan penyerap karbon (CO2) dan pelepas udara bersih (O2) atau lebih dikenal sebagai paru-paru dunia.
Laju deforestasi Indonesia yang masih tinggi yaitu sebesar 832.126,9 hektar/ tahun merupakan ancaman bagi keberlangsungan kawasan hutan khususnya kawasan hutan konservasi. Berdasarkan data FAO (2010) Indonesia menempati urutan ketiga dengan laju deforestasi tertinggi setelah Brazil dan Australia. Dengan laju deforestasi yang masih besar tentunya kawasan hutan di Indonesia akan terus dalam keadaan terancam (threats). Luas kawasan hutan di Indonesia menurut data dari Kementerian Kehutanan (2010) seluas 134,28 juta hektar, yang terdiri dari kawasan hutan konservasi 24,56 juta hektar, kawasan hutan lindung 32,01 juta hektar dan kawasan hutan produksi 77,71 juta hektar. Kawasan hutan konservasi merupakan benteng terakhir kawasan hutan yang ada di Indonesia yang harus dipertahankan dengan kondisi ekosistem yang asli, ketika kawasan hutan lain berubah fungsi menjadi lahan-lahan perkebunan palm oil, lahan tambang, pembukaan jalan dan untuk perumahan.
Taman nasional sebagai kawasan konservasi ditunjuk karena kondisi suatu kawasan yang memiliki sumber daya alam yang khas dan unik baik berupa jenis tumbuhan maupun satwa dan ekosistemnya serta gejala alam yang masih utuh dan alami (PP No 28 Tahun 2011). Taman Nasional sebagai bagian kawasan konservasi yang dikelola dengan sistem zonasi mengemban tiga fungsi, yaitu fungsi perlindungan, fungsi pengawetan dan fungsi pemanfaatan. Sesuai dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Taman Nasional didefinisikan sebagai kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi.
Menurut Hairiah, K., & Subekti R. (2007) hutan alami (kawasan taman nasional) merupakan penyimpan karbon (C) tertinggi bila dibandingkan dengan sistem penggunaan lahan (SPL) pertanian, dikarenakan keragaman pohonnya yang tinggi, dengan tumbuhan bawah dan seresah di permukaan tanah yang banyak. Kawasan TN Kelimutu dengan luas 5356,5 hektar sebagai hutan alam bisa dikategorikan memiliki ekosistem hutan yang sempurna. Dengan ekosistem hutan yang sempurna maka akan mempunyai peran dalam penyerapan karbon sehingga mempunyai pengaruh terhadap pengurangan tingkat emisi gas rumah kaca yang memicu adanya pemanasan global (global warming).
Potensi penyerapan karbon yang dimiliki kawasan TN Kelimutu mempunyai nilai ekonomi yang harus dipandang sebagai suatu jasa (services) yang merupakan barang yang mempunyai nilai jual. Menurut Tambunan, Mangara (2011) di dalam ilmu ekonomi, jasa lingkungan seperti udara dan air bersih, tempat tinggal yang bebas dari kebisingan, serta keindahan alam, harus dipandang sebagai suatu jasa (services) yang merupakan final product di dalam bundel pilihan ekonomi individu karena hal tersebut memiliki nilai ekonomi yang signifikan bagi kehidupan manusia.
       Perdagangan Karbon
Kebakaran hutan dan lahan serta gangguan lahan lainnya yang berakibat berkurangnya luas kawasan hutan telah menempatkan salah satu negara ASEAN yaitu Indonesia dalam urutan ketiga Negara penghasil emisi CO2 terbesar di dunia. Indonesia berada di bawah Amerika Serikat dan China, dengan jumlah emisi yang dihasilkan mencapai dua miliar ton CO2 per tahunnya atau menyumbang 10% dari emisi CO2 di dunia (Wetland International, (2006) dalam Hairiah K., et al., (2007)). Negara Indonesia berdasarkan data dari Kementerian Kehutanan (2010) mempunyai luas kawasan hutan sebesar 134,28 juta hektar, tentunya mempunyai peran yang sangat penting untuk menjaga kondisi iklim dunia dengan mempertahankan luas kawasan hutannya.
TN Kelimutu sebagai salah satu kawasan konservasi mempunyai andil yang cukup besar dalam mempertahankan kondisi iklim mikro khususnya disekitar lokasi kawasan hutan. Kawasan hutan khususnya kawasan konservasi masih dianggap belum mempunyai andil besar dalam pembangunan karena kawasan konservasi tidak bisa dimanfaatkan secara riil yaitu dengan mengeksploitasi hasil kayunya. Dengan adanya Protokol Kyoto yang Indonesia telah ikut meratifikasinya dijelaskan bahwa adanya pasar bagi pemanfaatan hutan sebagai penyedia jasa lingkungan melalui penyerapan karbon. Dalam kesepakatan itu adanya Scheme Debt For Nature Swap (DNS) atau pendanaan konservasi melalui penghapusan hutang, menilai secara ekonomis suatu lingkungan (environmental valuation), pajak konservasi (conservation tax) dan kesepakatan mengenai perdagangan karbon (carbon trade).
       Potensi Karbon Taman Nasional Kelimutu
Kawasan TN Kelimutu sebagai kawasan hutan mempunyai potensi penyerapan karbon (carbon sequestration), dimana berdasarkan identifikasi yang telah dilakukan Balai TN Kelimutu tahun 2010 telah diketahui setidaknya dalam luasan satu hektar di zona pemanfaatan (Arboretum) TN Kelimutu mempunyai potensi karbon tersimpan 118,76 ton/hektar. Dengan potensi karbon yang tinggi untuk kawasan hutan di daratan lahan kering seperti di kepulauan NTT merupakan suatu nilai lebih dari suatu kawasan hutan dalam hal ikut andil dalam penurunan tingkat emisi gas rumah kaca sebagai penyebab perubahan iklim (climate change).
Di kawasan TN Kelimutu terbagi kedalam 4 zona pengelolaan, yaitu zona inti (350,50 ha), zona rimba (4.351,50 ha), zona rehabilitasi (558,50 ha) dan zona pemanfaatan (96,5 ha). Untuk data potensi karbon tersimpan di zona rehabilitasi di TN Kelimutu dalam penelitian ini mengacu pada data IPCC dengan keberagaman jenis tanaman ampupu (Eucalyptus urophylla) dengan jumlah karbon per hektar sebesar 107,04 ton/ha. Sedangkan karakteristik di zona inti TN Kelimutu yang didominasi tanaman ekosistem VR (Vaccinium varingiaefolium dan Rodhodendron renchianum) mengacu pada data IPCC dengan karakteristik berupa lahan kering didataran Pulau Timor, Propinsi Nusa Tenggara Timur yaitu sebesar 69,29 ton/ha.
Dalam perhitungan potensi karbon tersimpan di TN Kelimutu menggunakan asumsi bahwa setiap zona mempunyai karakteristik dan perkiraan jumlah karbon yang sama untuk setiap tapak yang masih dalam satu zona. Perhitungan jumlah karbon menggunakan faktor koreksi 0,95 dimana faktor koreksi ditentukan didasarkan pada kondisi luas areal terbuka dengan penggunaan untuk berbagai kepentingan seperti untuk jalan dan bangunan, yang luasnya diperkirakan mencapai 5%. Berdasarkan uraian data potensi karbon tersimpan tersebut dapat dihitung nilai potensi karbon tersimpan untuk masing-masing zona yang ada di TN Kelimutu. Dari perhitungan yang dilakukan diketahui jumlah stock karbon tersimpan untuk kawasan TN Kelimutu sebesar 581.646,00 ton (lihat Tabel 4.2.).
Tabel 4.2. Jumlah Stock Karbon di Setiap Zona TN Kelimutu.
No.
Zona
Luas*)
(hektar)
Stock Karbon
(ton/ha)
Jumlah Stock Karbon
(ton)
1.
Zona Inti
332,975
69,29
23.071,84
2.
Zona Pemanfaatan
91,675
118,76
10.887,32
3.
Zona Rimba
4133,925
118,76
490.944,93
4.
Zona Rehabilitasi
530,100
107,04
56.741,90

Jumlah
5088.675
581.646,00
Keterangan:    *) luas kawasan dengan faktor koreksi 0,95.
       Nilai Ekonomi Karbon Taman Nasional Kelimutu
Berdasarkan penelitian yang dilakukan van Beukering, P.J.H., et al (2003) harga perdagangan karbon internasional adalah US $5 per ton karbon tersimpan. Dalam makalah ini diasumsikan harga karbon tersimpan adalah US$ 5 per ton karbon. Mengacu pada hal tersebut maka nilai ekonomi potensi karbon tersimpan dapat diketahui yaitu sebesar US$ 2.908.229,99. Apabila diasumsikan nilai tukar untuk US$ 1 sebesar Rp.9.000,-, maka nilai ekonomi potensi karbon tersimpan sebesar Rp.26.174.069.898,75,- (26,174 milyar rupiah) per tahun. Nilai penyerapan karbon ini merupakan nilai manfaat yang bisa diberikan masyarakat dunia atas kualitas ekosistem TN Kelimutu sebagai kawasan hutan yang mampu berfungsi sebagai penyerap emisi CO2. Bagi TN Kelimutu hasil perdagangan karbon dari fungsi penyerapan karbon merupakan salah satu potensi sumber pendanaan untuk menjaga dan melestarikan keberadaan dan existensi dari TN Kelimutu.
       Penutup
Keterbatasan dalam pelaksanaan perdagangan karbon saat ini diantaranya masih terbatasnya informasi terkait potensi karbon tersimpan secara detail yang ada di kawasan hutan Indonesia. Dengan mengetahui potensi karbon tersimpan maka langkah menuju perdagangan karbon international akan lebih mudah karena Indonesia sebagai negara “penjual karbon” telah memiliki data lengkap terkait produk yang dijual dalam hal ini potensi karbon. Salah satu cara untuk mengetahui nilai ekonomi potensi karbon tersimpan dengan melakukan pengukuran dan di penelitian ini menggunakan pendekatan karakteristik kawasan dan penggunaan lahan untuk mengetahui potensi karbon tersimpan.
       Daftar Acuan
Anonim. 1990. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Jakarta.
Anonim. 2010. Laporan Hasil: Identifikasi Kemampuan Hutan Arboretum Dalam Penyerapan Karbon (Carbon Sequestration) di Kawasan Taman Nasional Kelimutu. Balai Taman Nasional Kelimutu. Dirjen PHKA. Kementerian Kehutanan. Ende – Flores, Nusa Tenggara Timur. (unpublished)
Anonim. 2010. Statistik Balai Taman Nasional Kelimutu Tahun 2010. Balai Taman Nasional Kelimutu. Dirjen PHKA. Kementerian Kehutanan. Ende – Flores, Nusa Tenggara Timur.
Anonim. 2011. Global Forest Resources Assesment 2010. FAO: Main Report.
Anonim. 2011. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2011 Tentang Kawasan Suaka Alam Dan Kawasan Pelestarian Alam. Jakarta.
Creedy, John and Wurzbacher, Anke D. 2001.  The Economic Value of A Forested Catchment With Timber, Water and Carbon Sequestration Benefits. International Journal of Ecological Economics 38 (2001) 71–83.
Hairiah, K., & Subekti R. 2007. Petunjuk Praktis Pengukuran “Karbon Tersimpan” Di Berbagai Macam Penggunaan Lahan. World Agroforestry Centre, ICRAF Southeast Asia.
Tambunan, Mangara. 2011. Teori dan aplikasi ekonomi sumber daya alam dan lingkungan. Jakarta.
van Beukering, P.J.H., Herman S.J. Cesara and Marco A. Janssen. 2003.  Economic Valuation of the Leuser National Park on Sumatra, Indonesia. International Journal of Ecological Economics 44 (2003) 43 – 62.

No comments: