28 August 2012

Perilaku Suku Adat LIO Terhadap Kawasan Taman Nasional Kelimutu

Mata pencaharian hidup masyarakat Lio yang utama adalah bercocok tanam di ladang. Para warga laki-laki dari sejumlah keluarga luas biasanya bekerja sama dalam hal membuka ladang, mengolah lahan, seperti aktivitas memotong dan membersihkan belukar, membakar daun-daunan, dan menanami lahan dengan berbagai jenis tanaman seperti jagung, ubi kayu/ ketela/ singkong (pesi, kalau di Ende dikenal dengan nobosi), padi (pare), holo wolo (semacam jewawut/cantel, dulu merupakan makanan pokok masyarakat), kopi, kemiri, pisang baranga, kakao/coklat,  kacang merah/kacang-kacangan, cengkeh, wortel, dan kentang.

Pohon aren cukup banyak, namun belum banyak dimanfaatkan oleh penduduk untuk membuat gula aren, baru ada sekitar tiga pembuat gula aren yang perlu ditingkatkan produktivitasnya. Sementara ini kebanyakan pohon aren hanya disadap air niranya, kemudian dibuat sejenis minuman tradisional/semacam arak (moke). Tanaman bambu (aur) juga banyak terdapat di daerah ini, ada tiga jenis bambu  yakni wulose (bambu berukuran besar), toe (bambu berukuran sedang), dan wulu (bambu berukuran kecil). Potensi ini belum banyak dimanfaatkan, padahal prospeknya sangat bagus untuk dimanfaatkan sebagai beragam souvenir, meubeler, tas, topi, tirai, dan beragam hiasan lainnya. Beternak juga merupakan kegiatan yang penting, ternak utama masyarakat Lio antara lain babi, kuda, sapi, ayam, dan kambing. Hewan-hewan ini biasanya dipelihara untuk tujuan-tujuan yang berkaitan dengan adat, misalnya untuk membayar mas kawin, untuk disembelih dan dikonsumsi pada upacara-upacara adat, dan untuk dijadikan lambang kekayaan serta gengsi. Kuda merupakan hewan yang penting, disamping dimanfaatkan sebagai sarana untuk mengangkut barang, sarana transportasi, kuda juga sering dipakai sebagai mas kawin.
Tinjauan Pustaka
Pulau Flores merupakan salah satu pulau dari deretan kelompok-kelompok kepulauan yang merupakan wilayah dari Propinsi Nusa Tenggara Timur. Daerah ini terdiri dari kelompok kepulauan Flores, Sumba, kelompok kepulauan Timor dan dari kelompok kepulauan Tanimbar. Kelompok kepulauan Flores terdiri dari pulau-pulau yakni pulau Flores, yang dikelilingi oleh pulau Komodo, Rinca, Ende, Solor, Adonare dan Lomblem. Penduduk Flores sebenarnya tidak merupakan satu suku bangsa dengan satu kebudayaan  yang seluruhnya seragam, ada paling sedikit delapan sub suku bangsa di antara mereka yang mempunyai logat-logat bahasa yang berbeda-beda. Seperti pada orang Manggarai, orang Riung, orang Ngada, orang Nage-Keo, orang Ende, orang Lio, orang Sikka, dan orang Larantuka. Perbedaan kebudayaan sub suku bangsa Riung, Ngada, Nage-Keo, Ende, Lio dan Sikka tidak begitu besar, namun perbedaan antara kelompok-kelompok sub suku bangsa tersebut dengan orang Manggarai memang cukup besar. Juga dipandang dari sudut ciri-ciri fisiknya ada suatu perbedaan yang mengesankan. Penduduk Flores mulai dari orang Riung makin ke timur menunjukkan lebih banyak ciri-ciri Melanesia, seperti halnya penduduk Irian, sedangkan orang Manggarai lebih banyak menunjukkan ciri-ciri Mongoloid-Melayu.
Kondisi geografis dimana masyarakat Lio tinggal (di daerah selatan pulau Flores) memang bisa dikatakan ganas, gunung gemunung, bukit-bukit terjal dengan jurang-jurang yang dalam dan sungai-sungai yang memiliki air tetap maupun sungai-sungai kering, agak berbeda bila dibandingkan dengan daerah di utara yang mempunyai dataran-dataran rendah yang luas. Masyarakat Lio yang berdiam di daerah sekitar kawasan Taman Nasional Kelimutu antara lain masuk dalam wilayah administratif Kecamatan Wolojita, Kecamatan Ndona Timur, Kecamatan Ndona, Kecamatan Detusoko, dan  Kecamatan Kelimutu. Adapun desa-desa yang berada di sekitar kawasan Taman Nasional Kelimutu antara lain desa: Sokoria, Saga, Ndito, Niowula, Wolofeo, Detusoko Barat, Wologai Timur, Wologai Tengah, Wologai, Nuamuri Barat, Pemo, Koanara, Woloara, Tenda, Wiwipemo, Kelikiku, Jopu, Mbuliloo, Wolomasi, Nduaria, dan Roga.
Rumusan dan Analisa Masalah
Masyarakat Lio keberadaannya tidak bisa dilepaskan dengan kawasan Kelimutu, ikatan batin keduanya sudah terjalin saat mereka ada. Masyarakat Lio yang keberadaannya sudah ratusan tahun (bahkan mungkin ribuan tahun) itu, selalu bisa hidup dengan harmonis dengan alam di sekitarnya. Berdasarkan analisa geologis daerah ini (di sekitar daerah Sokoria), merupakan tempat hunian semenjak masa purba/pra sejarah. Namun hal ini perlu adanya kajian arkeologis yang lebih mendalam, untuk membuktikannya apakah terdapat artefak yang mendukung pernyataan tersebut. Namun dari istilah lokal masyarakat Lio juga mengenal daerah yang disebut Lio Nian Gun, yang berarti Lio Dunia Purba, sehingga kemungkinan memang ada pemukiman purba, bahwa daerah ini sudah dihuni semenjak dahulu kala.
Sehingga sangat wajar apabila masyarakat Lio mempunyai kepercayaan atau keyakinan, bahwa di kawasan Kelimutu (di puncak dan di danaunya) merupakan tempat tinggal arwah nenek moyang mereka, tempat tinggal para arwah nantinya. Karena adanya keterikatan batin dan keterikatan wilayah yang sudah berjalan ratusan tahun tersebut, menyebabkan masyarakat Lio sangat tergantung pada kawasan ini (Taman Nasional Kelimutu). Sehingga sangatlah mustahil apabila mereka akan merusak kawasan ini, sebaliknya mereka akan menjaga, merawat, dan mempertahankannya secara mati-matian, apabila ada yang berani merusak kawasan ini. Jadi tinggal bagaimana pihak Taman Nasioanal Kelimutu merangkul masyarakat Lio, untuk diajak mengelola kawasan ini. Bagaimana memanfaatkan kearifan tradisional mereka, untuk meningkatkan potensi kawasan Taman Nasional Kelimutu agar lebih dikenal, lebih banyak dikunjungi, dan lebih dikenal dunia. Sehingga secara tidak langsung juga meningkatkan kesejahteraan masyarakat Lio, yang berada di sekitar kawasan TNKM. Saat ini masyarakat Lio berada pada masa transisi, masa perubahan, masa peralihan, sehingga bisa dikatakan bahwa masyarakat Lio adalah masyarakat transisional. Kondisi dimana sebuah masyarakat di satu sisi telah menginjak dunia atau alam modern/kemajuan, namun di sisi lain mereka juga belum sepenuhnya meninggalkan alam tradisional, dunia adat mereka. Masyarakat Lio sudah mengenal produk teknologi tinggi seperti hand phone, telivisi, sepeda motor, parabola, serta barang-barang elektronik lainnya. Namun mereka juga tetap melaksanakan tradisi, ritual adat dalam berbagai aspek kehidupannya seperti penentuan hari baik, ritual yang berkaitan dengan kematian, kelahiran, dan lain-lain.
Potensi sumber daya alamnya seperti tersedianya tanaman bambu yang begitu melimpah, belum dimanfaatkan secara maksimal. Hal ini memang belum tersedianya tenaga terampil yang bisa membuat beragam kerajinan dari bahan bambu (souvenir, tas, topi, asbak, hiasan, meubeler, dan lain-lain). Jadi perlu adanya pelatihan untuk memberikan ketrampilan dalam mengolah bambu menjadi produk yang bermanfaat, menarik, dan mempunyai nilai jual. Kemudian tersedianya pohon aren yang begitu melimpah, namun belum ada usaha pengolahan seperti untuk pembuatan gula aren. Kalau kegiatan pembuatan gula aren bisa disosialisasikan, diperkenalkan, dan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat Lio. Maka potensi ini sangat bermanfaat dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat Lio, tinggal bagaimana memotivasi ke arah peningkatan produktivitas tersebut. Karena selama ini pohon aren hanya dimanfaatkan untuk diambil air niranya sebagai bahan pembuatan moke (arak), memang keberadaan moke tidak bisa dilepaskan dari kebiasaan adat. Setiap kegiatan atau aktivitas ritual selalu menyertakan moke, hal ini tidak terlepas dari sejarah keberadaannya. Sebab dahulunya menurut mitos, orang pertama atau cikal bakal orang Lio (kakak beradik) yang kemudian menjadi suami istri, kemudian mempunyai anak. Karena ibunya meninggal, maka sang bayi tidak bisa menyusui, sebagai gantinya sang ayah memberikan minum air nira. Sehingga air nira dianggap sebagai air kehidupan, yang bisa menyambung kehidupan sang anak tadi. Maka air nira mempunyai peranan yang dianggap sangat penting dalam kehidupan masyarakat Lio. Seperti halnya ukiran di rumah-rumah adat yang selalu ada ukiran buah dada, sebagai lambang kehidupan, lambang kesuburan. Pohon kemiri juga sangat melimpah, namun pemanfaatannya juga belum maksimal. Padahal manfaat buah kemiri begitu banyak misalnya sebagai bahan minyak kemiri, sebagai bahan pewarna, sebagai bahan pembuatan bumbu untuk masakan, dan lain-lain. Potensi sumber mata air juga belum banyak dimanfaatkan, padahal ini sangat menjanjikan, ketergantungan air kemasan dari daerah luar sangat terasa, apabila kiriman terlambat maka kelangkaan air kemasan terjadi. Sementara sumber mata air begitu tersedia di daerah sekitar kawasan TNKM, misalnya saja dengan ketersedian usaha pengisian air isi ulang akan sangat membantu masyarakat.
Kearifan tradisional masyarakat Lio dalam pengolahan atau penggarapan lahan, sawah, seperti yang tercermin dalam sistem kebe kolo (semacam sistem subak di Bali) yakni sistem terasering, adalah salah satu bentuk keperdulian masyarakat terhadap lingkungannya. Karena masyarakat Lio dalam mengolah ladang/sawah, selalu menjaga keharmonisan dengan alam lingkungannya, menjaga kelestarian alam. Sebab mereka sadar kehidupan tergantung dari bagaimana memperlakukan alam, bagaimana memperlakukan lingkungan di sekitarnya. Hal ini juga terlihat dari kesadaran mereka berkaitan dengan pembangunan rumah adat, yang membutuhkan kayu adat (wowo, najubalu, mbu) yang berada di kawasan TNKM, mereka sedikit demi sedikit berusaha menggantikan dengan kayu lain (nangka, kelapa). Juga adanya upaya pembibitan/pembudidayaan kayu-kayu adat tersebut untuk ditanam di luar kawasan TNKM, sehingga nantinya kawasan TNKM benar-benar terjaga, lestari, dan tidak mengalami kerusakan/ pengrusakan/ perambahan dari masyarakat di sekitarnya.
Kesimpulan dan Saran
1.    Kesimpulan
Pihak Balai Taman Nasional Kelimutu dengan masyarakat Lio adalah dua institusi yang mempunyai kepentingan sama, yakni menjaga kawasan Taman Nasional Kelimutu agar tetap terjaga eksistensinya.
Taman Nasional Kelimutu merupakan UPT Departemen Kehutanan yang merupakan kepanjangan tangan dari pemerintah mempunyai kepentingan agar kawasan konservasi sebagai salah satu penyangga kehidupan masyarakat sekitarnya harus dikelola secara baik dan bekesinambungan sehingga fungsi fungsi yang terkandung di dalamnya yakni fungsi perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan secara lestari tetap berada pada posisinya.
Sementara itu masyarakat  Lio adalah institusi adat yang telah ratusan tahun mendiami daerah tersebut, sebelum NKRI terbentuk mereka sudah ada. Secara turun menurun telah menjalnkan aktifitasnya berdasarkan kemampuan yang dimiliki, keraifan berpikir dan bertindak secara tardisional berupaya menjaga agar kesinambungan manfaat dan fungsi lahan dan keberadaan leluhurnya tetap ada sampai ke generasi generrasi penerusnya sepanjang jaman.
Kearifan tradisional masyarakat Lio yang berkaitan dengan pengolahan lahan, tidak terlepas dari kepercayaan yang mereka anut. Kepercayaan yang telah mereka hayati selama ratusan tahun tersebut, memberikan warna bagaimana masyarakat Lio memperlakukan alam di sekitarnya.
Dengan demikian pada dasarnya ke duanya mempunyai kepentingan yang sama menjaga kelestarian sumber daya alam. Keberadaannya wajib kita hormati, wajib kita jadikan mitra yang sejajar kedudukannya, untuk mengelola, mengawasi, mengamankan Taman Nasional Kelimutu agar lebih optimal.
2.    Saran
   Mensinergikan institusi adat, semangat adat (spirit adat) dengan institusi modern (Taman Nasional Kelimutu), merupakan salah satu jalan atau upaya dalam mengelola sumber daya alam, serta potensi budaya masyarakat Lio, untuk kelangsungan hidup masyarakat Lio khususnya, peningkatan kesejahteraan masyarakat Lio  maupun masyarakat NTT, dan Indonesia secara umum.
Meningkatkan peran serta Taman Nasional Kelimutu dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat Lio yang berada di sekitar kawasan Taman Nasional Kelimutu. Dengan demikian  keberadaan Taman Nasional Kelimutu, tentunya akan semakin diakui, semakin dikenal secara luas, bisa dijadikan sebagai percontohan untuk daerah lain. Karena warisan yang paling berharga untuk anak cucu kita adalah masih terjaganya, masih utuhnya lingkungan kawasan Kelimutu yang tiada duanya di dunia. Dan diusulkan sebagai salah satu warisan dunia (world heritage) ke UNESCO.
Daftar Pustaka
Anonim. 2005. Surat Edaran Kepala Biro Kepegawaian No: SE.02/Peg-4/2005 tanggal 28 Nopember 2005 perihal Pedoman Penyusunan dan Penilaian Karya Tulis/ Karya Ilmiah Pejabat Fungsional di Departemen Kehutanan, Sekretariat Jenderal Departemen Kehutanan. Jakarta.
Aoki, Eriko. The Case of The Purloined Statues: The Power of Words Among The Lionese. LIPI dan Universitas Nusa Cendana Kupang. 1978.
Orinbao, P. Sareng. Tata Berladang Tradisional dan Pertanian Rasional Suku Bangsa Lio. Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero. Nita – Flores. 1992.
Koentjaraningrat. Pengantar Antropologi II, Pokok-pokok Etnografi.  PT Rineksa Cipta. Jakarta. 1998.
Syani,  Abdul.   Sosiologi, Skematika Teori dan Terapan. PT. Bumi Aksara. Jakarta. 1994.

No comments: